Pages

Tuesday, October 22, 2013

EVERYTHING HAS CHANGED

Ketika aku mengetahui segalanya, aku sadar selama ini ternyata engkaulah orangnya. Yang bersembunyi di balik tembok transparan yang sulit untuk dapat kulihat dengan jelas. Maafkan aku, semua ini salahku. Karena kebutaanku, rasa yang kau miliki tidak pernah dapat kau ungkapkan. Tapi, sekarang aku sudah tahu. Aku sudah tahu tentang segala rasamu itu, yang tidak perlu lagi untuk kau tutupi. Jadi kembalilah, karena aku sudah berdiri disini, siap untuk mengakui bahwa aku..... juga mencintaimu.

***

Untuk kelima kalinya ponselku berdering tanpa ampun. Aku menghelakan nafas panjang, menyerah menghadapi suara nyaringnya. Jadi, segera kujejalkan tanganku kedalam tas dan menjangkau benda menjengkelkan itu, lalu menempelkannya di telingaku.

        “Halo” kataku tanpa minat sedikit pun. Aku memang sedang membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk menenangkan pikiranku. Aku sedang tidak ingin diganggu. Orang ini benar-benar menelepon disaat yang tidak tepat, sangat tidak tepat.

       “Halo Taylor” aku mengerutkan alis, mengenali suaranya. Kulepas ponselku dari telinga dan menatap nama yang tertera di layar sejenak, membaca nama yang tertera disana. Taylor Daniel Lautner. Nama itu dapat kubaca dengan jelas. Ternyata benar dia. Dia adalah sahabat baikku, yang sudah aku kenal selama tiga belas tahun lebih. Dan dia adalah salah satu orang yang tidak pernah mengecewakanku. Tidak seperti laki-laki itu. “Apa yang terjadi? kenapa nada suaramu terdengar..... menyedihkan?” katanya cemas.

          “Aku tidak apa-apa, jangan khawatir” kataku menyakinkan

        “Kau serius? Apa perlu aku kesana? Kau ada dimana sekarang?” katanya lembut, dan jujur dengan mendengar nada suaranya yang seperti itu perasaanku menjadi tenang.

        “Iya percayalah. Aku benar-benar tidak apa-apa. Lagipula, bukankah kau sedang ada urusan yang harus kau kerjakan?” tanyaku dengan nada lemah kepadanya.

        Dia bergumam pelan. “Baiklah. Tapi, jika kau membutuhkanku kau harus meneleponku. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kau dapat melakukannya bukan?”

        “Iya. Kau dapat mempercayaiku” aku menjawabnya tanpa semangat, kemudian menutup pembicaraan dan mematikan telepon darinya. Aku terdiam sejenak, sambil memegangi dadaku yang masih terasa sesak, kuatur kembali nafasku yang sudah tidak beraturan dan kutuntun langkahku yang sudah mulai goyah. Aku tidak menyangka rasanya masih sesakit ini. Begitu sakit, sampai-sampai aku tidak dapat lagi merasakan apapun.

       Kuhentikan langkahku dan mulai mencari tempat untuk menenangkan diri, jadi kuputuskan untuk duduk disalah satu bangku yang ada di trotoar jalan ini. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, kubenamkan kepalaku dalam-dalam. Rasanya aku ingin sekali menangis, tapi entah kenapa air mataku seolah menentangku untuk melakukannya. Padahal rasa ini benar-benar menyiksa, tidak... tetapi sangat menyiksa.

       Aku tidak menyangka dia bisa melakukannya. Mempermainkanku dan menyeretku dalam permainan rasa yang dia buat. Padahal aku sangat mempercayainya dan ternyata dia mengkhianatiku, aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa dia bisa setega itu. Dia dengan mata hijaunya yang selalu aku kagumi dan semua kata cintanya, ternyata hanyalah sesuatu yang semu, dan tidak lebih dari sebongkah kebohongan yang seharusnya tidak pernah aku percaya.

“Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Taylor Jake?” Suara itu segera menggema ketika aku masuk ke dalam gedung ini. Gedung yang sama, seperti yang tertulis di atas kertas yang sedang kupegang. Membuatku segera mengambil tempat untuk bersembunyi, agar mereka tidak mengetahui kedatanganku. Dan tentu saja, aku bisa mengenali suara itu, itu pasti Grace. Ada apa ini? kenapa mereka membicarakan tentangku?

“Tenang Grace, aku sudah melakukannya dengan sangat rapi. Dan sepertinya, dia  juga sudah sangat mencintaiku. Bukan masalah besar, jika hanya untuk menaklukkan gadis seperti dia” Aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar, terlebih lagi dengan orang yang barusan mengatakannya. Dia Jake, pacarku. Laki-laki yang sudah selama enam bulan terakhir kucintai dengan setulus hati. Tetapi, apa maksud perkataannya? Melakukannya dengan sangat rapi?

Grace bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke arah Jake lalu memeluknya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat sekarang. Jake dan Grace, ternyata mereka....“Aku mencintaimu Jake” Grace menatap Jake penuh arti “Rasanya sungguh sangat melegakan, akhirnya aku bisa membalasnya, membalaskan rasa sakit hatiku” Grace melepas pelukannya dan kembali duduk disalah satu bangku “Kau tahu Jake, rasanya itu benar-benar menyakitkan” dia menundukkan wajahnya, seperti sedang mengenang sesuatu.

Jake mengambil tempat disebelah kanan Grace dan membelai rambutnya penuh kasih sayang “Aku tidak akan pernah membiarkanmu merasakan rasa sakit itu lagi Grace. Aku sangat mencintaimu, dan apapun yang kau inginkan aku bersedia melakukannya, termaksud membalaskan rasa sakit hatimu kepada Taylor” dia meletakkan kepala Grace ke pundak kirinya “Karena aku benar-benar  tidak sanggup jika harus menyaksikan kembali tangismu, seperti waktu-waktu yang lalu. Aku akan mengutuk diriku sendiri jika itu sampai terjadi lagi. Karena aku memang benar-benar mencintaimu Grace. Percayalah” Ku tutup mulutku dengan kedua tangan. Jadi, ternyata selama ini Jake hanya mempermainkanku dan dia tidak benar-benar mencintaiku, aku tidak bisa mempercayai apa yang sudah aku dengar. Tubuhku lemas seketika, aku benar-benar tidak sanggup menyaksikan semuanya. Tetapi, aku tidak bisa hanya diam saja disini. Aku harus menemui mereka dan meminta penjelasan dari mereka. Ya, aku harus melakukannya.

“Jake!” aku sedikit berteriak dan Jake segera menoleh ke arahku, menatapku salah tingkah, mirip seperti seorang pencuri yang tertangkap tangan sedang menjual barang hasil curiannya. Kuberanikan langkahku mendekati mereka, menatap segurat wajah yang dulu sempat sangat ku cintai, tubuhku sedikit bergetar. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melakukannya. Aku benar-benar tidak tahu.

“Taylor, sedang apa kau disini?” kata Jake sangat terkejud melihat kedatanganku “Kenapa kau tidak bilang bahwa kau ingin datang kesini?” dia memasang senyum seperti biasa. Seolah-olah dia tidak pernah melakukan sesuatu kepadaku.

Kutatap Jake dan Grace bergantian “Seharusnya aku yang bertanya” Kataku dengan tegas “Apa yang sedang kalian lakukan disini? Dan apa yang sedang kalian bicarakan?” Jake menunduk, tidak berani menatapku. Tetapi Grace, entahlah ekspresi yang ditunjukannya mengambarkan bahwa dia seperti melihat musuh lamanya datang menemuinya. “Aku sudah mendengar semuanya” Kata-kataku sedikit bergetar “Sekarang, aku butuh penjelasan darimu Jake, juga kau Grace” Kataku dengan mantap. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus kuat.

Jake mulai mengangkat wajahnya dan kembali menatapku dengan mata hijaunya “Taylor ini tidak seperti yang........”

“Ya, yang kau dengar itu memang benar” Potong Grace sebelum Jake sempat memberikan penjelasan. Pandanganku segera beralih ke arahnya, menatapnya tak percaya “Aku yang telah menyuruh Jake untuk melakukan semua itu, dan tentu saja Jake bersedia melakukannya, karena dia mencintaiku” dia mengamit lengan Jake sambil tertawa mengejek ke arahku “Tidak, mungkin aku salah. Dia tidak hanya mencintaiku. Tetapi, SANGAT MENCINTAIKU!” sambungnya cepat dengan penekanan pada dua kata terakhir

Grace menatap lurus ke dalam mataku. Aku kalah, itulah yang dapat kulihat. Dia seakan menyorakan kemenangannya di dalam kepalaku. Dia telah berhasil, berhasil membuatku merasakan sakit yang teramat sakit.

“Jadi, bagaimana Taylor? Bagaimana rasanya?” aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan “Kau bisa merasakan bagaimana sakitnya bukan? Disaat kau tahu seseorang yang kau cintai ternyata mencintai orang lain. Dan itulah yang aku rasakan, selama bertahun-tahun yang lalu. Dan semua itu karena kau. Kau penyebab kenapa aku bisa merasakan rasa sakit itu. Kau!” Grace seakan meluapkan semua amarah yang dia simpan selama ini kepadaku.

Kukepalkan jari-jari tanganku. Aku siap menangis, tapi air mata itu tidak juga keluar “Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan Grace” kataku jujur dengan nada yang meninggi.

Dia tertawa dengan lantang. “Taylor, Taylor” katanya sambil menggelengkan kepala. “Tentu, tentu saja kau tidak mengerti. Karena kau adalah gadis bodoh. Kau terlalu buta Taylor, dan itulah kebodohanmu” Grace mulai murka. Jake memegang pundaknya, mencoba menenagkan “Sudahlah Grace, kau sudah membalasnya” bisik Jake ke telinga Grace dan dapat dengan jelas aku dengar “Lebih baik kita pergi sekarang”  sambung Jake kemudian, lalu mengambil tangan Grace dan mengajaknya pergi. Mereka mulai berjalan menjauh dan aku mendapati diriku masih tetap berada di tempatku. Sambil menghitung tiap langkah yang mereka buat. Dan, di hitungan ke tiga belas Jake memutar badannya ke arahku. Membiarkan Grace mandahuluinya “Taylor” katanya samar-samar “Maafkan aku” aku bisa mendengar nada penyesalan yang teramat mendalam dari nada suaranya.

       Kejadian tadi, tanpa henti kembali berputar di dalam kepalaku. Aku juga sudah tidak tahu lagi apa yang dapat kurasakan sekarang. Marah, sedih, sakit, semuanya seakan membaur menjadi satu rasa yang sama. Kutatap kertas yang tadi menuntunku untuk datang menemui mereka. Aku tersenyum sejenak,  seakan mensyukuri karena aku telah mengetahui kebenarannya. Dan setidaknya sekarang aku tahu, aku tidak harus terjerat lagi dalam permainan mereka. Permainan rasa yang sangat menyakitkan ini.

       Aku menghela nafas berat “Baiklah Taylor, mungkin semua ini adalah yang terbaik untukmu. Kau harus bisa menghadapinya” Kataku kepada diri sendiri, mencoba kembali bangkit dan mulai menuntun langkah untuk kembali ke rumah. Aku rasa aku benar-benar harus beristirahat, mengistirahatkan tubuh, otak dan hatiku yang sekarang keadaanya sudah sangat tidak jelas. Kuambil tas tanganku yang kuletakkan disamping bangku tempat aku duduk sekarang dan memperhatikan orang-orang yang sedang mengendarai kendaraannya di jalanan sore ini, sambil terus mencoba menenangkan diri. Tidak seperti biasanya, sore ini terlihat begitu banyak pengendara motor yang berlalu-lalang. Dan tunggu, aku seperti mengenali salah satu dari pengendara motor itu. Aku mengerjapkan mata satu kali, dua kali dan tiga kali. Benar, aku tidak salah ini memang benar-benar dia. Apa yang sedang dilakukannya disini? Dan bukankah ini jalan menuju... Jangan-jangan dia, aku harus mengikutinya.

Taylor Lautner POV

Aku sudah tahu dia telah mengetahuinya, tentang Grace dan Jake yang bekerja sama untuk mempermainkanya. Aku bisa mengetahui itu semua dari nada suaranya saat aku meneleponnya tadi, dia terdengar sedih. Yah kurasa bukan hanya sedih, tetapi sangat sedih. Dan seperti biasa lagi-lagi aku telah gagal, gagal melindunginya dari rasa sakit akibat orang-orang yang dicintainya. Tapi setidaknya sekarang dia sudah mengetahui tentang kenyataan itu, dan aku tahu dia adalah gadis yang kuat. Dia bisa menghadapi semua ini dengan baik, aku tahu itu karena aku sangat mengenalnya. Tidak, mungkin aku salah. Aku tidak terlalu mengenalnya, aku tidak pernah mengenal hatinya dan mengerti dia dengan baik. Namun, walaupun begitu aku selalu mencoba memberikan segala yang dia butuhkan, berada di sampingnya dan melakukan apapun yang diinginkannya. Karena aku begitu mencintainya. Gadis itu, Taylor Alison Swift.

       Gadis yang mampu membuatku jatuh hati sejak patah hatiku yang pertama, dan entah sejak kapan aku telah membuka pintu hatiku untuknya, membiarkan dia masuk, dan tumbuh semakin dalam. Aku juga tidak menyesal karena sudah meletakkan alamat dimana Grace dan Jake bertemu tadi, aku tahu ini akan sangat menyakitkan untuknya, tapi ini semua lebih baik daripada dia harus terus-menerus dibohongi oleh mereka. Aku tahu ini semua salahku, seharusnya dia tidak pernah terlibat dalam masalah ini dan menjadi bahan permainan Grace dan Jake. Seharusnya, sejak awal dia mendengarkanku. Tapi, perasaan telah mengambil alih dirinya pada saat itu dan peringatanku benar-benar tidak dihiraukannya. Dia memang mudah untuk jatuh hati kepada seseorang, mudah untuk patah hati dan mudah juga untuk kembali bangkit, tetapi tidak untukku. Dia seperti memberikan pengecualian kepadaku, dan kurasa rasa yang kumiliki akan selamanya hanya tetap menjadi milikku, tanpa dimiliki juga olehnya. Namun, aku tidak akan pernah menyesal dan sampai kapanpun dia akan tetap menjadi dirinya dimataku, dirinya yang kukenal, yang sudah sejak lama menjadi sahabat baikku dan sangat kucintai.

       Tanpa terasa, ternyata aku sudah sampai ditempat ini. Taylor Swift’s Studio. Hadiahku untuknya ketika dia genap berusia 22 tahun, pada desember lalu. Sayangnya, dia tidak mengetahui bahwa hadiah ini adalah dariku. Dan aku memang sengaja melakukannya. Karena aku tidak ingin dia berpikiran bahwa ada niat terselubung di balik hadiah yang kuberikan untuknya. Aku juga sudah merasa sangat bahagia ketika aku melihat ekspresinya saat melihat tempat ini, untuk pertama kalinya. 

“Oh Ya Tuhan, Aku bersumpah, tempat ini benar-benar indah!” katanya dengan wajah takjub ketika kami sudah berada di dalam studio. Dia memeriksa semua peralatan yang ada dan mulai menghampiriku dengan senyum yang masih terus mengembang, tanpa henti.

“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa Taylor. Ini benar-benar menakjubkan, sangat menakjubkan. Siapapun dia, aku harus berterima kasih kepadanya. Karena dia sudah mewujudkan salah satu mimpiku. Memiliki sebuah studio” Katanya kemudian dengan mata berkaca-kaca.

“Apa kau menyukainya?” dia bertanya kepadaku dan sudah tidak sabar menunggu reaksi yang akan aku berikan.

Dan tentu saja aku menyukai studio ini, karena setiap bagian dari studio ini adalah dirinya sendiri. Tidak ada satu pun unsur di dalam studio ini yang tidak berhubungan dengan dirinya. Terlebih lagi aku membuatnya dengan penuh perasaan, dengan rasa tulusku, rasa tulusku untuknya.

“Tidak ada alasan untuk tidak menyukai studio ini bukan?” kataku lalu memamerkan gigi-gigi rapiku. Dia segera mengamit lenganku dan ikut tersenyum, masih dengan rasa takjubnya “Ya, kau memang benar, tidak ada satu pun alasan !” katanya singkat.

       Aku tersenyum mengingat kejadian manis itu. Sejak saat itu setiap hari kami datang ketempat ini, bersama. Kami telah menghabiskan banyak waktu disini, dan aku selalu bisa melihatnya, memainkan setiap alat musik dan jari-jarinya diatas kertas, sambil terus menulis sebuah lagu. Dia memang begitu mencintai musik seperti dia mencintai hidupnya. Musik seakan menjadi bagian dari dirinya. Karena baginya orang-orang mungkin tidak akan selalu berada di sampingnya tetapi dia yakin musik akan selalu ada disampingnya sampai kapanpun juga. Dan karena dia jugalah aku dapat belajar banyak hal dan mulai perlahan menyukai musik. Walaupun pada awalnya aku sudah merasa gagal, karena aku sama sekali buta akan musik dan membaca not-not balok itu dapat membuat kepalaku serasa mau pecah. Tapi, sekarang semua itu bukan masalah lagi buatku karena aku sudah sangat terbiasa memainkan berbagai nada dengan jari-jariku ini, yang sudah sangat sering menjadi korban ambisiku, hingga harus terluka dan berdarah. Tetapi percayalah luka di jariku bukanlah hal yang besar, jika dibandingkan dengan rasa bangga yang akan dia tunjukkan kepadaku ketika dia tahu, aku juga bisa memainkan berbagai alat musik, sama seperti dirinya.

       Setelah memarkirkan motorku, aku segera masuk kedalam studio. Dari langkah pertama saja, aroma dari studio ini sudah menerjang masuk ke dalam hidungku, yang masih tetap sama seperti saat terakhir aku datang kesini. Kulangkahkan kakiku menuju bagian tengah dari studio ini, tempat piano itu berada.

       “Kau tahu Taylor?” kataku memandang sekeliling “Studio ini adalah milik kita berdua, kau dan aku. Aku juga sangat senang, karena sudah mewujudkan salah satu mimpi indahmu” kataku kemudian. Kupandangi lekat-lekat piano yang ada di depanku, dan entah kenapa aku ingin sekali memainkannya hari ini. Jadi, tanpa pikir panjang aku segera duduk dan meletakkan  kesepuluh jari-jariku di atas tuts piano, ku hirup nafas sejenak dan kemudian mulai memainkan nada-nada seperti yang tertera di atas buku nada balok yang ada di hadapanku, dan dengan perlahan mulai membuatku larut bersama alunannya.

 TAYLOR SWIFT POV

Rasa heran membuatku mengikutinya dan ternyata dugaanku memang benar. Dia sengaja datang ke studio ini, ke studio milikku. Ya, studio ini adalah hadiah ulang tahunku yang ke 22 dari seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa. Tetapi, yang jelas aku sangat berterima kasih kepadanya. Karena memang sudah sejak lama aku mengimpikan memiliki studio pribadi dan seseorang itu yang siapapun dia sudah berhasil mewujudkannya. Dan entahlah, apa yang tiba-tiba membawanya datang kemari, padahal tadi pagi dia mengatakan bahwa ada hal penting yang harus dia lakukan. Tetapi, kenapa sekarang dia malah ada disini? Sangat mencurigakan. Kuperhatikan dia dengan begitu lekat, yang membuat jantungku berdebar dengan tempo yang tidak beraturan. Sejak dulu, aku memang selalu merasakan debaraan aneh setiap melihatnya. Aku tidak tahu debaran itu menandakan apa, tetapi yang jelas aku sangat menikmatinya. Dan aku rasa debaran itu hanyalah perasaan biasa, karena jujur setiap melihatnya dan berada didekatnya aku merasa begitu nyaman. Dia begitu menenangkan, terlebih lagi dengan mata cokelatnya yang teduh dan segala perhatian yang dia berikan kepadaku. Aku menyukainya, menyukai caranya memperlakukanku. Dia adalah sahabat terbaik sejauh yang aku tahu. Dia, Taylor Daniel Lautner.

       Seperti biasa dia berjalan dengan langkahnya yang pasti. Kuamati dia sejenak. Dia terlihat sedang menuju ke arah tengah studio, tempat piano itu berada. Dia tersenyum lalu seperti mengatakan sesuatu dan aku tidak tahu apa itu, karena aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Matanya menatap sekeliling studio dan kesempatan itu membuatku segera mengambil tempat yang jauh lebih dekat dengannya untuk dapat mendengar dengan jelas apa yang dia katakan.

      “Studio ini adalah milik kita berdua, kau dan aku. Aku juga sangat senang, karena sudah mewujudkan salah satu mimpi indahmu” Dia memperhatikan piano itu sejenak, kemudian duduk dan meletakkan kesepuluh jarinya diatas tuts piano. Sebuah alunan nada mulai terdengar, aku tidak dapat mempercayai ini. Dengan apa yang ada di depan mata kepalaku saat ini, juga dengan pendengaranku beberapa saat yang lalu. Sejak kapan dia bisa bermain musik? Dan kenapa dia tidak jujur saja ketika aku dan dia datang ke studio ini untuk pertama kalinya? Kenapa dia tidak bilang bahwa ini adalah hadiah darinya? Kenapa dia menyembunyikan ini semua?. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya, tapi nada-nada itu mampu membuatku melupakan seluruh pertanyaan itu. Sungguh, nada-nada ini benar-benar indah. Dan tanpa kupinta tubuhku membawaku berjalan mendekat kearahnya. Dia segera menghentikan permainannya, menyadari kedatanganku. Lalu dia  mendongakkan kepala, menatapku dengan eksperesi yang entahlah seperti apa harus kugambar.

       “Kenapa kau tidak jujur kepadaku?” Itulah pertanyaan pertama yang berhasil keluar dari mulutku.

       Dia menatapku dalam, dan kali ini tatapan yang dia berikan bukan tatapan seperti biasa. Tatapannya mampu membuatku merasa tenang, mata cokelatnya terasa begitu teduh dan aku merasakan debaran aneh itu lagi “Maaf” hanya itu yang dia katakan dan beberapa saat kemudian kami hanya saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing “Aku hanya ingin melihat kau bahagia, dengan caraku. Dan aku tidak ingin kau...” dia menggantungkan kalimatnya “kau menganggap aku memiliki maksud lain. Dan aku takut jika akhirnya kau akan......menjauh dariku”

       “Astaga Taylor, kenapa kau berpikiran seperti itu? Mana mungkin aku menganggapmu memiliki maksud lain. Bahkan sebaliknya, aku akan sangat merasa bahagia. Karena ternyata orang itu adalah dirimu. Kau Taylor. Sahabatku” Kataku sambil memegang atas pundaknya. Dan entah kenapa, tapi tadi aku menangkap perubahan ekspresi wajahnya ketika aku menyebutkan kata “Sahabatku”, dia seakan....Entahlah aku tidak sanggup memikirkannya.

       Tanpa kuduga dia mengambil tanganku dan membawaku ke sudut ruangan “Aku rasa ini sudah saatnya” Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan, dia pun membuka pintu lemari yang ada di sudut ruangan ini dan menunjukkan isi lemari itu kepadaku. Aku terdiam, menyaksikan setiap barang yang tersusun rapi di dalam lemari itu. Sekarang aku sudah tahu, dan aku juga mengerti tentang apa yang dibicarakan Grace. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang dia menunjukkan ini semua kepadaku? Dan ada apa dengan jantungku, kenapa jantungku seakan berhenti berdetak? Aku menatapnya bingung, menunggu penjelasan darinya. Dan bersikap setenang mungkin.

TAYLOR LAUTNER POV

Dia sudah berada disini sekarang, tepat disampingku. Jadi, kurasa tidak ada lagi yang harus kusembunyikan darinya. Aku akan mengakhirinya sekarang juga. Mengatakan perasaanku kepadanya. Dan sekarang dia sudah melihat isi lemari ini. Melihat setiap memori antara aku dan dia yang tersimpan disana. Kuambil salah satu benda yang ada di lemari itu. Saputangan. Dia menatapku dan saputangan itu secara bergantian dengan heran, siap menunggu penjelasan.

       “Sejak saat itu, perasaanku sudah mulai berubah” Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi, dan dari raut wajahnya sepertinya dia sedang membuka ingatannya. Tentang aku, dia, saputangan ini dan patah hatiku yang pertama. Saat itu aku berusia 9 tahun, dan aku benar-benar merasa sedih karena ternyata gadis yang kusuka lebih memilih Sam, musuhku. Yang membuatku menangis tiada henti, dan dia datang menghampiriku, menghapus air mataku dengan saputangan ini lalu pergi menemui Sam dan gadis itu, memarahi mereka habis-habisan. Dan pada saat itu, dari pagi hingga malam sampai besoknya datang dia tidak beranjak dari sampingku. Dia terus menemaniku. Dan mulai sejak saat itulah aku mulai menatapnya dengan cara yang berbeda.

       “Apa...Apa lagi yang kau sembunyikan dariku?” Tanyanya dengan sedikit gugup.

       Dia menatapku tak percaya. Dan aku kembali melanjutkan kalimatku “Aku hanya butuh waktu, aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun darimu. Dan kau tahu?” aku berhenti sejenak “Diam-diam aku mempelajari semua alat musik, dan itu semua hanya untukmu” kataku kepadanya, jantungku semakin berdetak dengan cepat “Aku bahkan tidak mempedulikan tanganku yang berdarah, karena sepanjang malam aku hanya memetik gitar” Kutatap ujung-ujung jari tangan kiriku yang masih meninggalkan bekas luka, lalu tertawa merasa apa yang telah aku lakukan adalah hal yang konyol “Tapi kau tahu? Ketika aku mengingat wajahmu, saat kau berantusias mendengarkan ayahmu memainkan gitar untukmu. Semangatku seperti muncul kembali. Dan aku terus bertekad, suatu hari nanti kau juga harus seantusias itu ketika kau akan mendengarkanku memainkan gitar untukmu” dia terus menatapku dengan raut wajah tak percaya.

       Dia ingin membuka mulutnya, tetapi aku dengan cepat segera menyambung kalimatku lagi “Dan studio ini” mataku berkeliling menatap sekitar dan dia juga melakukan hal yang sama “Aku ingat, saat itu kau berusia 16 tahun dan kau mengatakan bahwa kau ingin sekali memiliki studio pribadi. Dan sejak 6 tahun yang lalu itu juga menjadi mimpiku, jadi aku mulai menabung dan berharap suatu saat nanti mimpiku dan juga mimpimu bisa terwujud. Dan kau lihat, inilah hasilnya. Studio pribadi dengan namamu sendiri. Aku masih ingat ekspresimu malam itu, kau sangat takjub melihatnya. Dan jujur, itu sangat membuatku bahagia” entah apalagi yang harus kujelaskan kepadanya.

       “Dan tentang Grace” aku menghentikan kalimatku, melihat ekspresi wajahnya yang berubah sedih “Aku harus meminta maaf kepadamu, karena ini semua salahku. Maafkan aku Taylor, maafkan aku. Jika saja Grace tidak pernah menyukaiku dan aku tidak pernah menolaknya, mungkin kau takkan pernah menjadi bahan permainannya” kataku kemudian. Kudapati dia sedang menunduk, menatap kedua kaki jenjangya. Aku tahu aku telah salah bicara. Seharusnya, aku tidak perlu mengingatkannya tentang Grace. Karena aku tahu, dia pasti masih sangat sakit hati sekarang. Aku menunggu beberapa menit dan dia masih tetap diam ditempatnya. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku benar-benar bingung sekarang, seharusnya aku tidak mengatakan apapun tentang Grace tadi. Aku telah merusak segalanya. “Kau benar-benar bodoh” aku megutuk diriku sendiri dalam hati.

 TAYLOR SWIFT POV

Mungkin memang benar, banyak hal yang tidak pernah kau duga akan terjadi di hidupmu, dan itulah yang sekarang terjadi di hidupku. Hari ini terasa begitu ajaib, tadi pagi ketika aku bangun dari tidur, aku hanya merasa aku akan menjalani hariku seperti bisa. Namun ternyata, ada banyak kejutan yang kudapatkan hari ini. Aku masih belum bersuara, dan dia juga. Dia terus menatapku dan aku sama sekali tidak sanggup menatapnya. Grace benar, aku memang bodoh, kenapa aku bisa tidak tahu bahwa dia menyukaiku? Dan andai saja dia tahu bahwa aku...

       “Maafkan aku Taylor, aku tidak bermaksud membuatmu begini. Maafkan aku Taylor, maaf” katanya yang dengan segera membuyarkan lamunanku “Aku rasa, aku harus memberimu waktu untuk menenangkan diri. Jika kau mau, aku akan pergi sekarang” katanya dengan nada lemah, masih menungguku bersuara “Baiklah. Sampai jumpa Taylor” Katanya pada akhirnya, dia pun mulai pergi menjauh dan yang benar saja kenapa tiba-tiba aku ingin menangis. Hatiku seakan berkata, dia harus kembali, kembali disini. Bersamaku. Dan air mata itu jatuh begitu saja, rasanya sakit. Sakit karena aku baru mengetahui segala pengorbanan yang telah dia lakukan, untukku. Sekarang aku tahu, debaran yang kurasakan selama ini bukanlah debaran biasa. Itu semua karena aku menyukainya. Aku menyukainya, sahabatku sendiri. Ya, dia. Aku menyukainya.

       “Kembali” kataku mantap, dia berhenti “Kau belum mengatakannya” aku mencoba untuk menahan air mataku yang tetap memaksa untuk keluar “Aku ingin mendengarnya, Kembalilah” kataku lagi, dia berbalik dan berlari ke arahku. Dia berhenti tepat didepanku. Di tatapnya mataku lekat-lekat. Kurasakan jantungku seakan berhenti ketika dia menatapku.

       “Jadi kau, jangan katakan bahwa kau juga...”

       “Aku hanya ingin mendengar kau mengatakannya. Dan kenapa kau tidak melakukannya dari dulu? Kenapa? Beri tahu aku kenapa !”

       Dia menarikku dalam pelukannya, begitu dalam dan hangat “Karena aku takut kau akan menjauh dan membenciku”

       “Dasar bodoh” kupukuli dada bidangnya “Aku tidak mungkin melakukannya. Aku tidak bisa membencimu. Aku tidak bisa” Kurasakan air mataku terus mengalir.

       Dia melepaskan pelukannya, memegang daguku dengan tangannya yang kokoh dan mengatakan “Aku mencintaimu Taylor” kata-kata yang sekarang ini sangat ingin aku dengar.

       Kutatap matanya dalam “Dan, aku juga... aku juga mencintaimu...”aku berhenti sejenak “Taylor” lanjutku kemudian, kami pun tertawa menyadari satu hal aneh bahwa kami memang memiliki nama depan yang sama yaitu “Taylor”. Aku juga merasa seperti mengatakan perasaan kepada diri sendiri ketika aku menyebutkan namanya tadi.

       Dia memegang pipiku dan menghapus air mataku yang jatuh. “Kau adalah bagian dari diriku, Taylor yang lain” katanya kemudian, dan kembali memelukku dengan erat, lalu mencium keningku “Aku sangat mencintaimu” sambungnya. Aku mempererat pelukanku, sambil mengangguk, mengerti seberapa besar dia mencintaiku.

       Diapun mulai menceritakan segala hal, tentang dia dan perasaannya. Berbagai tindakan bodoh yang sudah dilakukannya untukku. Dan bagaimana gugupnya dia, disaat-saat dia mengatakan perasaannya kepadaku tadi. Terlalu banyak tawa yang tercipta, hingga akhirnya dia mengajakku memainkan gitar bersama. Harus kuakui ini adalah kali pertamaku mendengarnya memainkan gitar. Dia menakjubkan, itulah yang dapat aku lihat. Dan malam ini satu hal yang dapat aku mengerti dengan jelas “Segalanya Sudah Berubah” dia bukan lagi hanya seorang sahabat bagiku tetapi lebih dari itu. Sekarang sahabatku sudah menjadi pacarku.

***

Kemarin, aku baru saja merasakan bagaimana rasanya disakiti. Dan kemarin juga aku merasakan bagaimana rasanya sangat disayangi. Kejadian yang bertolak belakang yang terjadi dalam satu waktu. Dengan sebuah nama sederhana, yang sudah merubah segalanya. Yang membuatku dapat merasakan indahnya mencintai dan dicintai. Aku juga tidak dapat membiarkanya pergi, menghilang bersama rasa yang dia miliki. Karena aku tidak tahu, apa jadinya aku tanpa dia disampingku.

       Dan disiniilah aku sekarang, di Quirdanian park. Aku sudah bisa melihatnya dari kejauhan. Hari ini akan menjadi kencanku yang pertama bersamanya. Terlihat jelas hari ini pakaiannya didominasi oleh warna abu-abu. Dia terlihat begitu segar dan tampan. Aku mengelengkan kepalaku, tertawa dalam diam, tidak habis pikir dengan apa yang sedang dilakukannya. Ada sebuah boneka beruang besar di tangan kanannya saat ini, yang aku rasa sudah sejak tadi menarik mata semua orang untuk menatapnya dengan aneh, tetapi dia tetap berjalan dengan tenang dan menunjukkan senyum manisnya tanpa henti, bahkan dia sekarang sedang melambaikan tangannya ke arahku. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan itulah dia, selalu menjadi dirinya sendiri dengan apa adanya. Terlebih, sekarang dia sudah tidak terlalu mempermasalahkan pandangan orang lain terhadap dirinya lagi, jauh lebih tepat waktu, semakin pengertian dan aku tidak tahu lagi sudah sebaik mana harus kukatakan dia sekarang. Dia sudah sangat sempurna dimataku. Dialah Taylorku. Bagian dari diriku yang lain. Taylor Daniel Lautner. Sahabatku juga pacarku.

       “Halo, sudah lama?” sapanya dengan sangat hangat dan mengambil tempat disebelah kiriku.

       “Kurasa... tidak” aku tersenyum kepadanya “Dan apa ini?” kuambil boneka beruang besar itu dari tangannya.

       “Hadiah untukmu, karena kau sekarang sudah menjadi........milikku” Dia berbisik ditelinga kiriku lalu tersenyum jahil “Oh ya” katanya lagi dan kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah kotak berwarna merah muda “Maukah kau membukakannya untukku Ny. Swift?”

       Mulutku terbuka, sambil menatap kotak merah muda yang berada ditangannya sekarang. Mungkin dia memang berlebihan tetapi jujur aku sangat menyukainya, menyukai segala perlakuan manisnya terhadapku. “Dengan senang hati Tn. Lautner” kataku dengan nada candaan. Kuterima kotak merah muda itu dari tangannya dan mulai membukanya. Mataku melebar, melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Yang benar saja isi kotak itu adalah sebuah kaos dengan angka 13 dibelakangnya. Angka kesukaanku. Dia memang benar-benar tahu apa yang aku suka. “Terima Kasih” kataku tulus kepadanya dan terus menatapnya.

       Dia bergumam pelan “Dan bukan hanya kau yang memilikinya, tetapi....” dia mengantungkan kalimatnya sambil membuang muka “Aku juga. Lihat ini” tiba-tiba saja dia mengeluarkan kaos yang sama denganku, tetapi dengan model tangan yang berbeda dari balik jaketnya. Aku sudah tidak tahu harus mengatakan apalagi. Dia sudah memiliki segala hal yang aku  butuhkan. Aku masih merasa semua yang terjadi sejak delapan belas jam yang lalu adalah seperti mimpi, tapi ini semua terlalu nyata. Dan aku baru menyadarinya, bahwa ini semua benar-benar terjadi dihidupku. Dan hanya satu hal yang aku tahu, sekarang aku sudah menjadi miliknya dan dia sudah menjadi milikku. Aku benar-benar merasa sangat bahagia. Bersama dengannya, memilikinya. Disini, disampingku.

       “Kau tahu? Sangat sulit mendapatkan kaos ini” Dia mengangkat kaos yang sedang dia pegang “Tetapi, karena ini semua demi dirimu....” dia terlihat sedang berpikir, “Kurasa, bukan masalah” dia tersenyum lebar sambil mengangkat bahu.

       Segera kurangkul lehernya dengan kedua tanganku, dan aku mulai berbisik pelan ditelinganya “Segala yang aku tahu sejak kemarin adalah Segalanya Sudah Berubah” dia tersenyum dan mengangguk pelan lalu menciumku. Ditatapnya lurus-lurus kedua mata biruku dengan mata cokelatnya yang teduh “Ya, kau benar” dia tersenyum lemah “Segalanya memang sudah berubah” katanya dengan lembut.

“Cause all I know is we said Hello. And Your eyes look like coming home

All I know it’s simple name, Everything Has Changed

All I know is we held the door. You’ll be mine and I’ll be yours

All I know since yesterday is Everything Has Changed”

No comments:

Post a Comment