EVERYTHING HAS CHANGED
Ketika
aku mengetahui segalanya, aku sadar selama ini ternyata engkaulah orangnya.
Yang bersembunyi di balik tembok transparan yang sulit untuk dapat kulihat
dengan jelas. Maafkan aku, semua ini salahku. Karena kebutaanku, rasa yang kau
miliki tidak pernah dapat kau ungkapkan. Tapi, sekarang aku sudah tahu. Aku
sudah tahu tentang segala rasamu itu, yang tidak perlu lagi untuk kau tutupi.
Jadi kembalilah, karena aku sudah berdiri disini, siap untuk mengakui bahwa aku.....
juga mencintaimu.
***
Untuk kelima kalinya ponselku berdering tanpa
ampun. Aku menghelakan nafas panjang, menyerah menghadapi suara nyaringnya.
Jadi, segera kujejalkan tanganku kedalam tas dan menjangkau benda menjengkelkan
itu, lalu menempelkannya di telingaku.
“Halo” kataku tanpa minat sedikit pun. Aku memang sedang membutuhkan
waktu untuk sendiri, untuk menenangkan pikiranku. Aku sedang tidak ingin
diganggu. Orang ini benar-benar menelepon disaat yang tidak tepat, sangat tidak
tepat.
“Halo Taylor” aku mengerutkan alis, mengenali suaranya. Kulepas ponselku
dari telinga dan menatap nama yang tertera di layar sejenak, membaca nama yang
tertera disana. Taylor Daniel Lautner. Nama itu dapat kubaca dengan jelas. Ternyata
benar dia. Dia adalah sahabat baikku, yang sudah aku kenal selama tiga belas
tahun lebih. Dan dia adalah salah satu orang yang tidak pernah mengecewakanku.
Tidak seperti laki-laki itu. “Apa yang terjadi? kenapa nada suaramu
terdengar..... menyedihkan?” katanya cemas.
“Aku tidak apa-apa, jangan khawatir” kataku menyakinkan
“Kau serius? Apa perlu aku kesana? Kau ada dimana sekarang?” katanya
lembut, dan jujur dengan mendengar nada suaranya yang seperti itu perasaanku
menjadi tenang.
“Iya percayalah. Aku benar-benar tidak apa-apa. Lagipula, bukankah kau
sedang ada urusan yang harus kau kerjakan?” tanyaku dengan nada lemah
kepadanya.
Dia bergumam pelan. “Baiklah. Tapi, jika kau membutuhkanku kau harus
meneleponku. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kau dapat
melakukannya bukan?”
“Iya. Kau dapat mempercayaiku” aku menjawabnya tanpa semangat, kemudian
menutup pembicaraan dan mematikan telepon darinya. Aku terdiam sejenak, sambil
memegangi dadaku yang masih terasa sesak, kuatur kembali nafasku yang sudah tidak
beraturan dan kutuntun langkahku yang sudah mulai goyah. Aku tidak menyangka
rasanya masih sesakit ini. Begitu sakit, sampai-sampai aku tidak dapat lagi
merasakan apapun.
Kuhentikan langkahku dan mulai mencari tempat
untuk menenangkan diri, jadi kuputuskan untuk duduk disalah satu bangku yang
ada di trotoar jalan ini. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, kubenamkan
kepalaku dalam-dalam. Rasanya aku ingin sekali menangis, tapi entah kenapa air
mataku seolah menentangku untuk melakukannya. Padahal rasa ini benar-benar
menyiksa, tidak... tetapi sangat menyiksa.
Aku tidak menyangka
dia bisa melakukannya. Mempermainkanku dan menyeretku dalam permainan rasa yang
dia buat. Padahal aku sangat mempercayainya dan ternyata dia mengkhianatiku,
aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa dia bisa setega itu. Dia dengan mata
hijaunya yang selalu aku kagumi dan semua kata cintanya, ternyata hanyalah
sesuatu yang semu, dan tidak lebih dari sebongkah kebohongan yang seharusnya
tidak pernah aku percaya.
“Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Taylor Jake?” Suara
itu segera menggema ketika aku masuk ke dalam gedung ini. Gedung yang sama, seperti
yang tertulis di atas kertas yang sedang kupegang. Membuatku segera mengambil
tempat untuk bersembunyi, agar mereka tidak mengetahui kedatanganku. Dan tentu
saja, aku bisa mengenali suara itu, itu pasti Grace. Ada apa ini? kenapa mereka
membicarakan tentangku?
“Tenang Grace, aku sudah melakukannya dengan sangat
rapi. Dan sepertinya, dia juga sudah
sangat mencintaiku. Bukan masalah besar, jika hanya untuk menaklukkan gadis
seperti dia” Aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar, terlebih
lagi dengan orang yang barusan mengatakannya. Dia Jake, pacarku. Laki-laki yang
sudah selama enam bulan terakhir kucintai dengan setulus hati. Tetapi, apa
maksud perkataannya? Melakukannya dengan sangat rapi?
Grace bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke arah
Jake lalu memeluknya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang
kulihat sekarang. Jake dan Grace, ternyata mereka....“Aku mencintaimu Jake”
Grace menatap Jake penuh arti “Rasanya sungguh sangat melegakan, akhirnya aku
bisa membalasnya, membalaskan rasa sakit hatiku” Grace melepas pelukannya dan
kembali duduk disalah satu bangku “Kau tahu Jake, rasanya itu benar-benar
menyakitkan” dia menundukkan wajahnya, seperti sedang mengenang sesuatu.
Jake mengambil tempat disebelah kanan Grace dan membelai
rambutnya penuh kasih sayang “Aku tidak akan pernah membiarkanmu merasakan rasa
sakit itu lagi Grace. Aku sangat mencintaimu, dan apapun yang kau inginkan aku
bersedia melakukannya, termaksud membalaskan rasa sakit hatimu kepada Taylor”
dia meletakkan kepala Grace ke pundak kirinya “Karena aku benar-benar tidak sanggup jika harus menyaksikan kembali
tangismu, seperti waktu-waktu yang lalu. Aku akan mengutuk diriku sendiri jika
itu sampai terjadi lagi. Karena aku memang benar-benar mencintaimu Grace.
Percayalah” Ku tutup mulutku dengan kedua tangan. Jadi, ternyata selama ini
Jake hanya mempermainkanku dan dia tidak benar-benar mencintaiku, aku tidak
bisa mempercayai apa yang sudah aku dengar. Tubuhku lemas seketika, aku
benar-benar tidak sanggup menyaksikan semuanya. Tetapi, aku tidak bisa hanya
diam saja disini. Aku harus menemui mereka dan meminta penjelasan dari mereka.
Ya, aku harus melakukannya.
“Jake!” aku sedikit berteriak dan Jake segera menoleh ke
arahku, menatapku salah tingkah, mirip seperti seorang pencuri yang tertangkap tangan
sedang menjual barang hasil curiannya. Kuberanikan langkahku mendekati mereka,
menatap segurat wajah yang dulu sempat sangat ku cintai, tubuhku sedikit
bergetar. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melakukannya. Aku benar-benar tidak
tahu.
“Taylor, sedang apa kau disini?” kata Jake sangat
terkejud melihat kedatanganku “Kenapa kau tidak bilang bahwa kau ingin datang
kesini?” dia memasang senyum seperti biasa. Seolah-olah dia tidak pernah
melakukan sesuatu kepadaku.
Kutatap Jake dan Grace bergantian “Seharusnya aku yang
bertanya” Kataku dengan tegas “Apa yang sedang kalian lakukan disini? Dan apa
yang sedang kalian bicarakan?” Jake menunduk, tidak berani menatapku. Tetapi
Grace, entahlah ekspresi yang ditunjukannya mengambarkan bahwa dia seperti
melihat musuh lamanya datang menemuinya. “Aku sudah mendengar semuanya”
Kata-kataku sedikit bergetar “Sekarang, aku butuh penjelasan darimu Jake, juga kau
Grace” Kataku dengan mantap. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan mereka.
Aku harus kuat.
Jake mulai mengangkat wajahnya dan kembali menatapku
dengan mata hijaunya “Taylor ini tidak seperti yang........”
“Ya, yang kau dengar itu memang benar” Potong Grace
sebelum Jake sempat memberikan penjelasan. Pandanganku segera beralih ke
arahnya, menatapnya tak percaya “Aku yang telah menyuruh Jake untuk melakukan
semua itu, dan tentu saja Jake bersedia melakukannya, karena dia mencintaiku” dia
mengamit lengan Jake sambil tertawa mengejek ke arahku “Tidak, mungkin aku
salah. Dia tidak hanya mencintaiku. Tetapi, SANGAT MENCINTAIKU!” sambungnya
cepat dengan penekanan pada dua kata terakhir
Grace menatap lurus ke dalam mataku. Aku kalah, itulah
yang dapat kulihat. Dia seakan menyorakan kemenangannya di dalam kepalaku. Dia
telah berhasil, berhasil membuatku merasakan sakit yang teramat sakit.
“Jadi, bagaimana Taylor? Bagaimana rasanya?” aku tidak
mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan “Kau bisa merasakan bagaimana
sakitnya bukan? Disaat kau tahu seseorang yang kau cintai ternyata mencintai
orang lain. Dan itulah yang aku rasakan, selama bertahun-tahun yang lalu. Dan
semua itu karena kau. Kau penyebab kenapa aku bisa merasakan rasa sakit itu.
Kau!” Grace seakan meluapkan semua amarah yang dia simpan selama ini kepadaku.
Kukepalkan jari-jari tanganku. Aku siap menangis, tapi
air mata itu tidak juga keluar “Aku tidak mengerti dengan apa yang kau
bicarakan Grace” kataku jujur dengan nada yang meninggi.
Dia tertawa dengan lantang. “Taylor, Taylor” katanya
sambil menggelengkan kepala. “Tentu, tentu saja kau tidak mengerti. Karena kau adalah
gadis bodoh. Kau terlalu buta Taylor, dan itulah kebodohanmu” Grace mulai
murka. Jake memegang pundaknya, mencoba menenagkan “Sudahlah Grace, kau sudah
membalasnya” bisik Jake ke telinga Grace dan dapat dengan jelas aku dengar
“Lebih baik kita pergi sekarang” sambung
Jake kemudian, lalu mengambil tangan Grace dan mengajaknya pergi. Mereka mulai
berjalan menjauh dan aku mendapati diriku masih tetap berada di tempatku.
Sambil menghitung tiap langkah yang mereka buat. Dan, di hitungan ke tiga belas
Jake memutar badannya ke arahku. Membiarkan Grace mandahuluinya “Taylor”
katanya samar-samar “Maafkan aku” aku bisa mendengar nada penyesalan yang
teramat mendalam dari nada suaranya.
Kejadian tadi, tanpa
henti kembali berputar di dalam kepalaku. Aku juga sudah tidak tahu lagi apa
yang dapat kurasakan sekarang. Marah, sedih, sakit, semuanya seakan membaur
menjadi satu rasa yang sama. Kutatap kertas yang tadi menuntunku untuk datang
menemui mereka. Aku tersenyum sejenak, seakan
mensyukuri karena aku telah mengetahui kebenarannya. Dan setidaknya sekarang
aku tahu, aku tidak harus terjerat lagi dalam permainan mereka. Permainan rasa
yang sangat menyakitkan ini.
Aku menghela nafas
berat “Baiklah Taylor, mungkin semua ini adalah yang terbaik untukmu. Kau harus
bisa menghadapinya” Kataku kepada diri sendiri, mencoba kembali bangkit dan
mulai menuntun langkah untuk kembali ke rumah. Aku rasa aku benar-benar harus
beristirahat, mengistirahatkan tubuh, otak dan hatiku yang sekarang keadaanya
sudah sangat tidak jelas. Kuambil tas tanganku yang kuletakkan disamping bangku
tempat aku duduk sekarang dan memperhatikan orang-orang yang sedang mengendarai
kendaraannya di jalanan sore ini, sambil terus mencoba menenangkan diri. Tidak
seperti biasanya, sore ini terlihat begitu banyak pengendara motor yang
berlalu-lalang. Dan tunggu, aku seperti mengenali salah satu dari pengendara
motor itu. Aku mengerjapkan mata satu kali, dua kali dan tiga kali. Benar, aku
tidak salah ini memang benar-benar dia. Apa yang sedang dilakukannya disini?
Dan bukankah ini jalan menuju... Jangan-jangan dia, aku harus mengikutinya.
Taylor
Lautner POV
Aku sudah tahu dia telah mengetahuinya,
tentang Grace dan Jake yang bekerja sama untuk mempermainkanya. Aku bisa
mengetahui itu semua dari nada suaranya saat aku meneleponnya tadi, dia
terdengar sedih. Yah kurasa bukan hanya sedih, tetapi sangat sedih. Dan seperti
biasa lagi-lagi aku telah gagal, gagal melindunginya dari rasa sakit akibat
orang-orang yang dicintainya. Tapi setidaknya sekarang dia sudah mengetahui tentang
kenyataan itu, dan aku tahu dia adalah gadis yang kuat. Dia bisa menghadapi
semua ini dengan baik, aku tahu itu karena aku sangat mengenalnya. Tidak,
mungkin aku salah. Aku tidak terlalu mengenalnya, aku tidak pernah mengenal
hatinya dan mengerti dia dengan baik. Namun, walaupun begitu aku selalu mencoba
memberikan segala yang dia butuhkan, berada di sampingnya dan melakukan apapun
yang diinginkannya. Karena aku begitu mencintainya. Gadis itu, Taylor Alison
Swift.
Gadis yang mampu
membuatku jatuh hati sejak patah hatiku yang pertama, dan entah sejak kapan aku
telah membuka pintu hatiku untuknya, membiarkan dia masuk, dan tumbuh semakin
dalam. Aku juga tidak menyesal karena sudah meletakkan alamat dimana Grace dan
Jake bertemu tadi, aku tahu ini akan sangat menyakitkan untuknya, tapi ini semua
lebih baik daripada dia harus terus-menerus dibohongi oleh mereka. Aku tahu ini
semua salahku, seharusnya dia tidak pernah terlibat dalam masalah ini dan
menjadi bahan permainan Grace dan Jake. Seharusnya, sejak awal dia
mendengarkanku. Tapi, perasaan telah mengambil alih dirinya pada saat itu dan
peringatanku benar-benar tidak dihiraukannya. Dia memang mudah untuk jatuh hati
kepada seseorang, mudah untuk patah hati dan mudah juga untuk kembali bangkit,
tetapi tidak untukku. Dia seperti memberikan pengecualian kepadaku, dan kurasa
rasa yang kumiliki akan selamanya hanya tetap menjadi milikku, tanpa dimiliki
juga olehnya. Namun, aku tidak akan pernah menyesal dan sampai kapanpun dia
akan tetap menjadi dirinya dimataku, dirinya yang kukenal, yang sudah sejak
lama menjadi sahabat baikku dan sangat kucintai.
Tanpa terasa,
ternyata aku sudah sampai ditempat ini. Taylor Swift’s Studio. Hadiahku
untuknya ketika dia genap berusia 22 tahun, pada desember lalu. Sayangnya, dia
tidak mengetahui bahwa hadiah ini adalah dariku. Dan aku memang sengaja
melakukannya. Karena aku tidak ingin dia berpikiran bahwa ada niat terselubung
di balik hadiah yang kuberikan untuknya. Aku juga sudah merasa sangat bahagia
ketika aku melihat ekspresinya saat melihat tempat ini, untuk pertama kalinya.
“Oh Ya Tuhan, Aku bersumpah, tempat ini benar-benar
indah!” katanya dengan wajah takjub ketika kami sudah berada di dalam studio.
Dia memeriksa semua peralatan yang ada dan mulai menghampiriku dengan senyum
yang masih terus mengembang, tanpa henti.
“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa Taylor. Ini
benar-benar menakjubkan, sangat menakjubkan. Siapapun dia, aku harus berterima
kasih kepadanya. Karena dia sudah mewujudkan salah satu mimpiku. Memiliki
sebuah studio” Katanya kemudian dengan mata berkaca-kaca.
“Apa kau menyukainya?” dia bertanya kepadaku dan sudah
tidak sabar menunggu reaksi yang akan aku berikan.
Dan tentu saja aku menyukai studio ini, karena setiap
bagian dari studio ini adalah dirinya sendiri. Tidak ada satu pun unsur di
dalam studio ini yang tidak berhubungan dengan dirinya. Terlebih lagi aku
membuatnya dengan penuh perasaan, dengan rasa tulusku, rasa tulusku untuknya.
“Tidak ada alasan untuk tidak menyukai studio ini
bukan?” kataku lalu memamerkan gigi-gigi rapiku. Dia segera mengamit lenganku
dan ikut tersenyum, masih dengan rasa takjubnya “Ya, kau memang benar, tidak
ada satu pun alasan !” katanya singkat.
Aku tersenyum
mengingat kejadian manis itu. Sejak saat itu setiap hari kami datang ketempat
ini, bersama. Kami telah menghabiskan banyak waktu disini, dan aku selalu bisa
melihatnya, memainkan setiap alat musik dan jari-jarinya diatas kertas, sambil
terus menulis sebuah lagu. Dia memang begitu mencintai musik seperti dia
mencintai hidupnya. Musik seakan menjadi bagian dari dirinya. Karena baginya
orang-orang mungkin tidak akan selalu berada di sampingnya tetapi dia yakin
musik akan selalu ada disampingnya sampai kapanpun juga. Dan karena dia jugalah
aku dapat belajar banyak hal dan mulai perlahan menyukai musik. Walaupun pada
awalnya aku sudah merasa gagal, karena aku sama sekali buta akan musik dan
membaca not-not balok itu dapat membuat kepalaku serasa mau pecah. Tapi,
sekarang semua itu bukan masalah lagi buatku karena aku sudah sangat terbiasa
memainkan berbagai nada dengan jari-jariku ini, yang sudah sangat sering
menjadi korban ambisiku, hingga harus terluka dan berdarah. Tetapi percayalah
luka di jariku bukanlah hal yang besar, jika dibandingkan dengan rasa bangga
yang akan dia tunjukkan kepadaku ketika dia tahu, aku juga bisa memainkan
berbagai alat musik, sama seperti dirinya.
Setelah memarkirkan
motorku, aku segera masuk kedalam studio. Dari langkah pertama saja, aroma dari
studio ini sudah menerjang masuk ke dalam hidungku, yang masih tetap sama
seperti saat terakhir aku datang kesini. Kulangkahkan kakiku menuju bagian
tengah dari studio ini, tempat piano itu berada.
“Kau tahu Taylor?”
kataku memandang sekeliling “Studio ini adalah milik kita berdua, kau dan aku.
Aku juga sangat senang, karena sudah mewujudkan salah satu mimpi indahmu”
kataku kemudian. Kupandangi lekat-lekat piano yang ada di depanku, dan entah
kenapa aku ingin sekali memainkannya hari ini. Jadi, tanpa pikir panjang aku
segera duduk dan meletakkan kesepuluh jari-jariku
di atas tuts piano, ku hirup nafas sejenak dan kemudian mulai memainkan
nada-nada seperti yang tertera di atas buku nada balok yang ada di hadapanku,
dan dengan perlahan mulai membuatku larut bersama alunannya.
TAYLOR
SWIFT POV
Rasa heran membuatku mengikutinya dan
ternyata dugaanku memang benar. Dia sengaja datang ke studio ini, ke studio
milikku. Ya, studio ini adalah hadiah ulang tahunku yang ke 22 dari seseorang
yang aku sendiri tidak tahu siapa. Tetapi, yang jelas aku sangat berterima
kasih kepadanya. Karena memang sudah sejak lama aku mengimpikan memiliki studio
pribadi dan seseorang itu yang siapapun dia sudah berhasil mewujudkannya. Dan
entahlah, apa yang tiba-tiba membawanya datang kemari, padahal tadi pagi dia
mengatakan bahwa ada hal penting yang harus dia lakukan. Tetapi, kenapa
sekarang dia malah ada disini? Sangat mencurigakan. Kuperhatikan dia dengan
begitu lekat, yang membuat jantungku berdebar dengan tempo yang tidak
beraturan. Sejak dulu, aku memang selalu merasakan debaraan aneh setiap
melihatnya. Aku tidak tahu debaran itu menandakan apa, tetapi yang jelas aku
sangat menikmatinya. Dan aku rasa debaran itu hanyalah perasaan biasa, karena
jujur setiap melihatnya dan berada didekatnya aku merasa begitu nyaman. Dia
begitu menenangkan, terlebih lagi dengan mata cokelatnya yang teduh dan segala
perhatian yang dia berikan kepadaku. Aku menyukainya, menyukai caranya memperlakukanku.
Dia adalah sahabat terbaik sejauh yang aku tahu. Dia, Taylor Daniel Lautner.
Seperti biasa dia
berjalan dengan langkahnya yang pasti. Kuamati dia sejenak. Dia terlihat sedang
menuju ke arah tengah studio, tempat piano itu berada. Dia tersenyum lalu
seperti mengatakan sesuatu dan aku tidak tahu apa itu, karena aku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas. Matanya menatap sekeliling studio dan kesempatan itu
membuatku segera mengambil tempat yang jauh lebih dekat dengannya untuk dapat
mendengar dengan jelas apa yang dia katakan.
“Studio ini adalah milik kita berdua, kau dan
aku. Aku juga sangat senang, karena sudah mewujudkan salah satu mimpi indahmu” Dia
memperhatikan piano itu sejenak, kemudian duduk dan meletakkan kesepuluh
jarinya diatas tuts piano. Sebuah alunan nada mulai terdengar, aku tidak dapat
mempercayai ini. Dengan apa yang ada di depan mata kepalaku saat ini, juga
dengan pendengaranku beberapa saat yang lalu. Sejak kapan dia bisa bermain
musik? Dan kenapa dia tidak jujur saja ketika aku dan dia datang ke studio ini
untuk pertama kalinya? Kenapa dia tidak bilang bahwa ini adalah hadiah darinya?
Kenapa dia menyembunyikan ini semua?. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin
kutanyakan kepadanya, tapi nada-nada itu mampu membuatku melupakan seluruh
pertanyaan itu. Sungguh, nada-nada ini benar-benar indah. Dan tanpa kupinta
tubuhku membawaku berjalan mendekat kearahnya. Dia segera menghentikan
permainannya, menyadari kedatanganku. Lalu dia
mendongakkan kepala, menatapku dengan eksperesi yang entahlah seperti
apa harus kugambar.
“Kenapa kau tidak
jujur kepadaku?” Itulah pertanyaan pertama yang berhasil keluar dari mulutku.
Dia menatapku dalam,
dan kali ini tatapan yang dia berikan bukan tatapan seperti biasa. Tatapannya
mampu membuatku merasa tenang, mata cokelatnya terasa begitu teduh dan aku
merasakan debaran aneh itu lagi “Maaf” hanya itu yang dia katakan dan beberapa
saat kemudian kami hanya saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing “Aku
hanya ingin melihat kau bahagia, dengan caraku. Dan aku tidak ingin kau...” dia
menggantungkan kalimatnya “kau menganggap aku memiliki maksud lain. Dan aku
takut jika akhirnya kau akan......menjauh dariku”
“Astaga Taylor,
kenapa kau berpikiran seperti itu? Mana mungkin aku menganggapmu memiliki
maksud lain. Bahkan sebaliknya, aku akan sangat merasa bahagia. Karena ternyata
orang itu adalah dirimu. Kau Taylor. Sahabatku” Kataku sambil memegang atas
pundaknya. Dan entah kenapa, tapi tadi aku menangkap perubahan ekspresi
wajahnya ketika aku menyebutkan kata “Sahabatku”, dia seakan....Entahlah aku
tidak sanggup memikirkannya.
Tanpa kuduga dia
mengambil tanganku dan membawaku ke sudut ruangan “Aku rasa ini sudah saatnya” Aku
tidak mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan, dia pun membuka pintu lemari
yang ada di sudut ruangan ini dan menunjukkan isi lemari itu kepadaku. Aku
terdiam, menyaksikan setiap barang yang tersusun rapi di dalam lemari itu.
Sekarang aku sudah tahu, dan aku juga mengerti tentang apa yang dibicarakan
Grace. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang dia menunjukkan ini semua
kepadaku? Dan ada apa dengan jantungku, kenapa jantungku seakan berhenti
berdetak? Aku menatapnya bingung, menunggu penjelasan darinya. Dan bersikap
setenang mungkin.
TAYLOR
LAUTNER POV
Dia sudah berada disini sekarang, tepat
disampingku. Jadi, kurasa tidak ada lagi yang harus kusembunyikan darinya. Aku
akan mengakhirinya sekarang juga. Mengatakan perasaanku kepadanya. Dan sekarang
dia sudah melihat isi lemari ini. Melihat setiap memori antara aku dan dia yang
tersimpan disana. Kuambil salah satu benda yang ada di lemari itu. Saputangan.
Dia menatapku dan saputangan itu secara bergantian dengan heran, siap menunggu
penjelasan.
“Sejak saat itu,
perasaanku sudah mulai berubah” Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi, dan
dari raut wajahnya sepertinya dia sedang membuka ingatannya. Tentang aku, dia,
saputangan ini dan patah hatiku yang pertama. Saat itu aku berusia 9 tahun, dan
aku benar-benar merasa sedih karena ternyata gadis yang kusuka lebih memilih
Sam, musuhku. Yang membuatku menangis tiada henti, dan dia datang
menghampiriku, menghapus air mataku dengan saputangan ini lalu pergi menemui
Sam dan gadis itu, memarahi mereka habis-habisan. Dan pada saat itu, dari pagi
hingga malam sampai besoknya datang dia tidak beranjak dari sampingku. Dia
terus menemaniku. Dan mulai sejak saat itulah aku mulai menatapnya dengan cara
yang berbeda.
“Apa...Apa lagi yang
kau sembunyikan dariku?” Tanyanya dengan sedikit gugup.
Dia menatapku tak
percaya. Dan aku kembali melanjutkan kalimatku “Aku hanya butuh waktu, aku
tidak bermaksud menyembunyikan apapun darimu. Dan kau tahu?” aku berhenti
sejenak “Diam-diam aku mempelajari semua alat musik, dan itu semua hanya
untukmu” kataku kepadanya, jantungku semakin berdetak dengan cepat “Aku bahkan
tidak mempedulikan tanganku yang berdarah, karena sepanjang malam aku hanya
memetik gitar” Kutatap ujung-ujung jari tangan kiriku yang masih meninggalkan
bekas luka, lalu tertawa merasa apa yang telah aku lakukan adalah hal yang
konyol “Tapi kau tahu? Ketika aku mengingat wajahmu, saat kau berantusias
mendengarkan ayahmu memainkan gitar untukmu. Semangatku seperti muncul kembali.
Dan aku terus bertekad, suatu hari nanti kau juga harus seantusias itu ketika
kau akan mendengarkanku memainkan gitar untukmu” dia terus menatapku dengan
raut wajah tak percaya.
Dia ingin membuka
mulutnya, tetapi aku dengan cepat segera menyambung kalimatku lagi “Dan studio
ini” mataku berkeliling menatap sekitar dan dia juga melakukan hal yang sama
“Aku ingat, saat itu kau berusia 16 tahun dan kau mengatakan bahwa kau ingin
sekali memiliki studio pribadi. Dan sejak 6 tahun yang lalu itu juga menjadi
mimpiku, jadi aku mulai menabung dan berharap suatu saat nanti mimpiku dan juga
mimpimu bisa terwujud. Dan kau lihat, inilah hasilnya. Studio pribadi dengan
namamu sendiri. Aku masih ingat ekspresimu malam itu, kau sangat takjub
melihatnya. Dan jujur, itu sangat membuatku bahagia” entah apalagi yang harus
kujelaskan kepadanya.
“Dan tentang Grace”
aku menghentikan kalimatku, melihat ekspresi wajahnya yang berubah sedih “Aku
harus meminta maaf kepadamu, karena ini semua salahku. Maafkan aku Taylor,
maafkan aku. Jika saja Grace tidak pernah menyukaiku dan aku tidak pernah
menolaknya, mungkin kau takkan pernah menjadi bahan permainannya” kataku
kemudian. Kudapati dia sedang menunduk, menatap kedua kaki jenjangya. Aku tahu
aku telah salah bicara. Seharusnya, aku tidak perlu mengingatkannya tentang
Grace. Karena aku tahu, dia pasti masih sangat sakit hati sekarang. Aku
menunggu beberapa menit dan dia masih tetap diam ditempatnya. Aku tidak tahu
harus melakukan apa lagi. Aku benar-benar bingung sekarang, seharusnya aku
tidak mengatakan apapun tentang Grace tadi. Aku telah merusak segalanya. “Kau
benar-benar bodoh” aku megutuk diriku sendiri dalam hati.
TAYLOR
SWIFT POV
Mungkin memang benar, banyak hal yang tidak pernah kau
duga akan terjadi di hidupmu, dan itulah yang sekarang terjadi di hidupku. Hari
ini terasa begitu ajaib, tadi pagi ketika aku bangun dari tidur, aku hanya
merasa aku akan menjalani hariku seperti bisa. Namun ternyata, ada banyak
kejutan yang kudapatkan hari ini. Aku masih belum bersuara, dan dia juga. Dia
terus menatapku dan aku sama sekali tidak sanggup menatapnya. Grace benar, aku
memang bodoh, kenapa aku bisa tidak tahu bahwa dia menyukaiku? Dan andai saja
dia tahu bahwa aku...
“Maafkan aku Taylor,
aku tidak bermaksud membuatmu begini. Maafkan aku Taylor, maaf” katanya yang
dengan segera membuyarkan lamunanku “Aku rasa, aku harus memberimu waktu untuk
menenangkan diri. Jika kau mau, aku akan pergi sekarang” katanya dengan nada
lemah, masih menungguku bersuara “Baiklah. Sampai jumpa Taylor” Katanya pada
akhirnya, dia pun mulai pergi menjauh dan yang benar saja kenapa tiba-tiba aku
ingin menangis. Hatiku seakan berkata, dia harus kembali, kembali disini.
Bersamaku. Dan air mata itu jatuh begitu saja, rasanya sakit. Sakit karena aku
baru mengetahui segala pengorbanan yang telah dia lakukan, untukku. Sekarang
aku tahu, debaran yang kurasakan selama ini bukanlah debaran biasa. Itu semua
karena aku menyukainya. Aku menyukainya, sahabatku sendiri. Ya, dia. Aku
menyukainya.
“Kembali” kataku
mantap, dia berhenti “Kau belum mengatakannya” aku mencoba untuk menahan air
mataku yang tetap memaksa untuk keluar “Aku ingin mendengarnya, Kembalilah”
kataku lagi, dia berbalik dan berlari ke arahku. Dia berhenti tepat didepanku.
Di tatapnya mataku lekat-lekat. Kurasakan jantungku seakan berhenti ketika dia
menatapku.
“Jadi kau, jangan
katakan bahwa kau juga...”
“Aku hanya ingin
mendengar kau mengatakannya. Dan kenapa kau tidak melakukannya dari dulu?
Kenapa? Beri tahu aku kenapa !”
Dia menarikku dalam
pelukannya, begitu dalam dan hangat “Karena aku takut kau akan menjauh dan
membenciku”
“Dasar bodoh”
kupukuli dada bidangnya “Aku tidak mungkin melakukannya. Aku tidak bisa
membencimu. Aku tidak bisa” Kurasakan air mataku terus mengalir.
Dia melepaskan
pelukannya, memegang daguku dengan tangannya yang kokoh dan mengatakan “Aku
mencintaimu Taylor” kata-kata yang sekarang ini sangat ingin aku dengar.
Kutatap matanya
dalam “Dan, aku juga... aku juga mencintaimu...”aku berhenti sejenak “Taylor” lanjutku
kemudian, kami pun tertawa menyadari satu hal aneh bahwa kami memang memiliki
nama depan yang sama yaitu “Taylor”. Aku juga merasa seperti mengatakan
perasaan kepada diri sendiri ketika aku menyebutkan namanya tadi.
Dia memegang pipiku
dan menghapus air mataku yang jatuh. “Kau adalah bagian dari diriku, Taylor
yang lain” katanya kemudian, dan kembali memelukku dengan erat, lalu mencium
keningku “Aku sangat mencintaimu” sambungnya. Aku mempererat pelukanku, sambil mengangguk,
mengerti seberapa besar dia mencintaiku.
Diapun mulai
menceritakan segala hal, tentang dia dan perasaannya. Berbagai tindakan bodoh
yang sudah dilakukannya untukku. Dan bagaimana gugupnya dia, disaat-saat dia
mengatakan perasaannya kepadaku tadi. Terlalu banyak tawa yang tercipta, hingga
akhirnya dia mengajakku memainkan gitar bersama. Harus kuakui ini adalah kali
pertamaku mendengarnya memainkan gitar. Dia menakjubkan, itulah yang dapat aku
lihat. Dan malam ini satu hal yang dapat aku mengerti dengan jelas “Segalanya
Sudah Berubah” dia bukan lagi hanya seorang sahabat bagiku tetapi lebih dari
itu. Sekarang sahabatku sudah menjadi pacarku.
***
Kemarin, aku baru saja merasakan bagaimana
rasanya disakiti. Dan kemarin juga aku merasakan bagaimana rasanya sangat
disayangi. Kejadian yang bertolak belakang yang terjadi dalam satu waktu.
Dengan sebuah nama sederhana, yang sudah merubah segalanya. Yang membuatku
dapat merasakan indahnya mencintai dan dicintai. Aku juga tidak dapat
membiarkanya pergi, menghilang bersama rasa yang dia miliki. Karena aku tidak
tahu, apa jadinya aku tanpa dia disampingku.
Dan disiniilah aku
sekarang, di Quirdanian park. Aku sudah bisa melihatnya dari kejauhan. Hari ini
akan menjadi kencanku yang pertama bersamanya. Terlihat jelas hari ini
pakaiannya didominasi oleh warna abu-abu. Dia terlihat begitu segar dan tampan.
Aku mengelengkan kepalaku, tertawa dalam diam, tidak habis pikir dengan apa
yang sedang dilakukannya. Ada sebuah boneka beruang besar di tangan kanannya
saat ini, yang aku rasa sudah sejak tadi menarik mata semua orang untuk
menatapnya dengan aneh, tetapi dia tetap berjalan dengan tenang dan menunjukkan
senyum manisnya tanpa henti, bahkan dia sekarang sedang melambaikan tangannya
ke arahku. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan itulah dia, selalu menjadi
dirinya sendiri dengan apa adanya. Terlebih, sekarang dia sudah tidak terlalu
mempermasalahkan pandangan orang lain terhadap dirinya lagi, jauh lebih tepat
waktu, semakin pengertian dan aku tidak tahu lagi sudah sebaik mana harus
kukatakan dia sekarang. Dia sudah sangat sempurna dimataku. Dialah Taylorku. Bagian
dari diriku yang lain. Taylor Daniel Lautner. Sahabatku juga pacarku.
“Halo, sudah lama?”
sapanya dengan sangat hangat dan mengambil tempat disebelah kiriku.
“Kurasa... tidak”
aku tersenyum kepadanya “Dan apa ini?” kuambil boneka beruang besar itu dari
tangannya.
“Hadiah untukmu,
karena kau sekarang sudah menjadi........milikku” Dia berbisik ditelinga kiriku
lalu tersenyum jahil “Oh ya” katanya lagi dan kemudian dia mengeluarkan sesuatu
dari balik punggungnya. Sebuah kotak berwarna merah muda “Maukah kau membukakannya
untukku Ny. Swift?”
Mulutku terbuka, sambil
menatap kotak merah muda yang berada ditangannya sekarang. Mungkin dia memang
berlebihan tetapi jujur aku sangat menyukainya, menyukai segala perlakuan
manisnya terhadapku. “Dengan senang hati Tn. Lautner” kataku dengan nada
candaan. Kuterima kotak merah muda itu dari tangannya dan mulai membukanya. Mataku
melebar, melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Yang benar saja isi kotak itu
adalah sebuah kaos dengan angka 13 dibelakangnya. Angka kesukaanku. Dia memang
benar-benar tahu apa yang aku suka. “Terima Kasih” kataku tulus kepadanya dan
terus menatapnya.
Dia bergumam pelan “Dan
bukan hanya kau yang memilikinya, tetapi....” dia mengantungkan kalimatnya
sambil membuang muka “Aku juga. Lihat ini” tiba-tiba saja dia mengeluarkan kaos
yang sama denganku, tetapi dengan model tangan yang berbeda dari balik
jaketnya. Aku sudah tidak tahu harus mengatakan apalagi. Dia sudah memiliki
segala hal yang aku butuhkan. Aku masih
merasa semua yang terjadi sejak delapan belas jam yang lalu adalah seperti
mimpi, tapi ini semua terlalu nyata. Dan aku baru menyadarinya, bahwa ini semua
benar-benar terjadi dihidupku. Dan hanya satu hal yang aku tahu, sekarang aku
sudah menjadi miliknya dan dia sudah menjadi milikku. Aku benar-benar merasa
sangat bahagia. Bersama dengannya, memilikinya. Disini, disampingku.
“Kau tahu? Sangat sulit
mendapatkan kaos ini” Dia mengangkat kaos yang sedang dia pegang “Tetapi,
karena ini semua demi dirimu....” dia terlihat sedang berpikir, “Kurasa, bukan
masalah” dia tersenyum lebar sambil mengangkat bahu.
Segera kurangkul
lehernya dengan kedua tanganku, dan aku mulai berbisik pelan ditelinganya “Segala
yang aku tahu sejak kemarin adalah Segalanya Sudah Berubah” dia tersenyum dan mengangguk
pelan lalu menciumku. Ditatapnya lurus-lurus kedua mata biruku
dengan mata cokelatnya yang teduh “Ya, kau benar” dia tersenyum lemah
“Segalanya memang sudah berubah” katanya dengan lembut.
“Cause
all I know is we said Hello. And Your eyes look like coming home
All I
know it’s simple name, Everything Has Changed
All I
know is we held the door. You’ll be mine and I’ll be yours
All I know since yesterday is Everything Has
Changed”
No comments:
Post a Comment