“Oh itu ya kantor pengadilan agama ?
gak keduga banget bisa ada disini” tunjuk Azam kearah gedung cokelat yang
berdiri kokoh di sisi kanan jalan ”Siapa ya yang kira-kira bakalan datang? Tempatnya
aja di pelosok kayak gini?” kata Azam tanpa sadar, dan tak mendapat respon apa
pun dari teman-temannya yang berada di dalam mobil saat itu. Namun, kalimat
Azam barusan bisa dengan berhasil membuat Elga memutar kepala dan menjatuhkan
tatapan dingin kearahnya. Yang kemudian, dengan sesegera mungkin mengalihkan pandangannya
keluar jendela, menatap penuh arti
gedung berwarna cokelat yang
dimaksud Azam barusan, yang terlihat sudah lumayan jauh dari jangkauan matanya.
“Kantor
pengadilan agama” gumam Elga dalam hati dengan tawa lirih. Dia segera
menyenderkan tubuhnya ke jok mobil dan melipat kedua tangannya didepan dada seraya
mencoba memenjamkan mata. Elga ingin menjernikan pikirannya, moodnya
benar-benar langsung berubah. Sumpah demi apapun, Elga sangat membenci tempat
itu, dan dia sendiri berjanji dia takkan pernah mengijakkan kakinya ke tempat
itu lagi. Tempat dimana papa dan mamanya di depan mata kepalanya resmi
dinyatakan bercerai dan sekaligus menjadi awal kepedihan yang di rasakannya
saat ini dimulai. Membuat papanya tak
mempedulikannya lagi bahkan juga membuat mamanya menjadi lenyap dari
hadapannya. Hilang entah kemana, meninggalkan tanggung jawab yang semestinya
dia lakukan untuk Elga, menjadi seorang ibu yang utuh untuknya. Elga selalu
merasa ngeri membayangkan apa yang sudah terjadi untuk hidupnya, kehilangan
sosok orangtua yang seharusnya ada di sampingmu, menyayangimu setulus hati, dan
memmberikan segala perhatian yang kau butuhkan. Mereka memang terlalu egois,
hanya memikirkan apa yang mereka inginkan, kecam Elga penuh amarah. Tetapi, siapa
yang harus di salahkan, semuanya telah terjadi dan mungkin itulah yang terbaik.
Dan bagaimana pun mereka akan tetap menjadi orang tuanya, orangtua kandung
baginya. Dan dia tidak bisa membenci keduanya, dengan alasan apapun. Kenyataan
tidak akan pernah berubah.
Azam yang menyadari perubahan raut wajah Elga
segera merasa bersalah, dia lupa kenyataan bahwa papa dan mama Elga yang sudah
bercerai. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri karena sudah dengan sangat
bodoh mengatakan kata-kata itu barusan yang dia tahu telah dengan berhasil
membuka kembali lembaran memori yang seharusnya tidak diingat oleh Elga. Azam
melirik kearah teman-temannya yang lain, mencoba bertanya tentang apa yang
harus dia lakukan lewat isyarat mata. Bara segera mengerti isyarat yang
diberikan oleh Azam, diliriknya Elga yang sedang menyandarkan diri di jok
mobil, membuang wajah kearah jendela, menatap kosong ke sana. Dan hal itu
membuatnya begitu geram untuk tidak bertanya.
“Lo baik-baik aja Ga ?”
pertanyaan itu dengan mulus keluar dari mulut Bara, membuat semua temannya
sadar tentang apa yang barusan terjadi. Azam menatap kearah Elga yang
mendongakkan kepalanya sedikit keatas menatap Bara yang sedang menyetir di
bangku depan “maafin aku Ga” aku Azam tulus dengan rasa sesal “bukan masalah
besar” jawab Elga dengan datar tanpa senyum, dia pun langsung memejamkan
matanya, tanpa berniat memberi komentar lebih lagi. Azam bergerak lesu di
tempatnya. Suasana menjadi canggung , tidak ada obrolan yang mereka ciptakan.
Hanya hening yang terdengar di sisa perjalanan mereka. Elga tidak tahu harus bersifat
bagaimana sekarang. Dia tahu dia tak seharusnya melampiaskan masalah ini kepada
teman-temannya, tetapi dia hanya ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu.
Dia ingin melupakan masalah ini sejenak. Masalah tersulit yang pernah ada di
dalam hidupnya, masalah tentang keluarganya.
**********
Ruangan
keluarga ini memang selalu terasa sepi, membekaskan sebuah keheningan yang
menusuk kedalam tulang. Sejak satu jam yang lalu Elga sudah sampai di rumahnya,
selalu saja ketika melangkahkan kakinya kembali kerumah, hatinya mengharapkan
sesuatu, sesuatu yang mungkin mustahil dapat menjadi kenyataan. Sesuatu itu
adalah dia dan mereka dapat berkumpul diruangan ini bersama seperti dulu,
mereka ….. orangtuanya. Namun, mau pulang jam berapa pun suasana ruangan ini
akan tetap terasa hening, sepi, mati. Tak akan ada yang bisa berkumpul disini,
yang satu terlalu sibuk dan yang satu
lagi sudah hilang entah kemana, sangat membingungkan. Jika begitu…… Kenapa dulu
ruangan ini harus dibuat ?.
Tiba-tiba saja, handphone Elga berdering. Membuatnya dengan sigap segera
mengangkatnya karena telpon itu dari papanya. Sebelum papanya memberi tahu apa
yang ingin dikatakannya, Elga sudah bisa menebak tentang apa yang akan di
katakannya nanti.
“papa tidak pulang hari ini Ga, rencana akhir
minggu kita terpaksa tertunda” Kata-kata
itu menerjang gendang telinga Elga bahkan sebelum ia sempat berkata “Halo” kepada papanya. Ia bahkan juga
belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga. Sesuai dugaan, pikir Elga. Sejenak
Elga tertegun, dia begitu mengenali suara papanya yang seperti ini, pasti dia
sangat sibuk sekarang dan Elga akan mencoba untuk memberi pengertian untuk
papanya “Baik Pa” jawabnya tanpa respon berlebih.
Papanya terdiam diujung sana, entah karena
sudah kembali fokus mengerjakan pekerjaannya atau malah bingung dengan respon
yang diberikan oleh anaknya, yang tak sesuai dengan prediksinya. Dia kira Elga
akan sangat marah, karena lagi-lagi rencana mereka harus tertunda atau bahkan
tidak akan pernah terlaksanakan dikarenakan kesibukannya “kamu baik-baik aja
kan Ga?” Tanya papanya khawatir.
Elga berjalan kearah dapur, ingin mengambil segelas air untuk
kerogkongannya yang tengah sekarat, membuat papanya menunggu di ujung telpon
“Iya Pa” Elga meneguk airnya dengan cepat “ lagian gak jadi dilakuin juga gak
apa-apa! Papa fokusin aja terus ngerjain proyek Papa” katanya dengan nada
sindiran, terdengar tak acuh.
“Papa janji, papa akan segera pulang” papanya mencoba menyakinkan
Elga, yang sedang diyakinkan hanya bisa berdeham pelan “papa janji, rencana
kita bakalan segera kita lakuin” lanjutnya kemudian, Elga menanggapinya dengan
tidak bersemangat.
Kemudian Elga teringat
sesuatu “Pa, aku ada permintaan” katanya “apa?” Tanya papanya cepat
“Ruang keluarga kita….” Timbangnya sejenak “lebih baik diganti,
percuma gak pernah digunain” katanya spontan “kita juga gak pernah kumpul
bareng kan ? oh ya Pa, ada telpon masuk” katanya berbohong “udah dulu ya” Tanpa
menunggu jawaban Papanya ia menutup ponsel, dan menjejalkan benda itu ke saku
celana putih abu-abunya. Apakah dia sudah lancang? entahlah.
***
Sejak kemarin Elga belum berbicara dengan teman-temannya. Dan hari
ini rencananya untuk membuka suara gagal dia laksanakan. Terlalu banyak praktek
dan tugas, sehingga dia begitu sibuk, ditambah lagi kenyataan bahwa lomba
Anggar yang dia ikuti akan segera dilaksanakan pada pertengahan bulan ini. Yang
membuatnya harus merelakan waktu istirahanya untuk berlatih di aula sekolah. Hingga
sekarang, ketika semua orang sudah meninggalkan sekolah, Elga masih tetap
disini. Tetap berlatih lengkap dengan segala macam perlengkapan Anggarnya. Yang
membuatnya tidak jadi mengatakan bahwa dia sudah lebih baikan kepada
teman-temannya. Dan mereka tidak harus merasa bersalah, terutama Azam.
Elga merasakan seluruh badannya mulai pegal akibat berlatih sedari
tadi, kira-kira sudah empat jam lebih dia disini. Dan dia pun memutuskan untuk mengakhiri
latihannya pada hari ini sampai disini dulu. Dan kemudian dia bergegas, membereskan
segala perlengkapan yang dibawanya. Dan terpaksa dia harus menyeret kakinya
kembali ketempat yang seperti kuburan baginya. Kembali kerumah.
********
Keadaan sekolah sudah lengang, tidak ada seorang pun yang dapat
terlihat. Tia yang masih ada tugas tambahan terpaksa tertahan disekolah untuk
sementara. Namun, suara pedang yang sedari tadi berdenting dari arah aula sejak
tadi menarik perhatiannya. Dan ketika tugas yang dia kerjakan sudah selesai.
Dia segera menyeret kakinya menuju aula, dia begitu penasaran tentang siapa
yang masih bertahan disekolah pada jam segini dan apa yang sedang dia lakukan
disana sendirian. Dia berharap orang itu dapat merespon baik kedatangannya.
Baru satu langkah dia melangkah, handphonenya
segera berdering. Ternyata sms dari mama.
Dek, pulangnya cepetan dong.
Pasti adek belum makan kan ?
Mama udah masakin masakan kesukaan
adek,
Kalo mau ajak temen juga gak papa
Mama tunggu ya !
Dibacanya pesan itu tanpa minat, males ih, batin Tia dalam hati.
Mama memang berlebihan. Bodoh ah. Putusnya kemudian dan kembali melanjutkan
langkahnya.
***
“lo lagi ngapain sih ?” Elga terlonjak kaget karena tanpa dia duga
ada seorang cewek yang tiba-tiba masuk ke dalam aula dan sekarang berada tepat
didepannya. Cewek itu menunggu respon Elga, sambil duduk di deretan bangku yang
berada di depannya.
“latihan Anggar” jawab Elga mencoba seramah mungkin.
Cewek itu bergumam pelan “oh, jadi lo itu yang namanya Elga Arta
Wi…” kata cewek itu mencoba mengingat “Winata” sambung Elga kemudian. Dia heran
kenapa cewek itu bisa tahu namanya, setidaknya nama depan dan nama tengahnya.
Apakah ini semua karena dia adalah satu-satunya atlet Anggar di sekolahnya?
Namun, pertanyaan itu lebih baik dia simpan terlebih dahulu. Dia tidak ingin
cewek ini beranggapan bahwa Elga adalah orang yang sok.
Cewek itu tersenyum malu. “kenalin gue Tia” katanya seraya
menjulurkan tangannya. Elga menerima uluran tangan itu dengan baik “latihannya
udah selesai ya?” Tanya cewek itu yang ternyata bernama Tia.
“iya, sudah empat jam latihan, kayaknya aku harus pulang buat
istirahat” aku Elga yang merasa badannya sudah kurang fit. “eh ya, kamu ngapain masih disekolah, bukannya yang lain sudah
pada pulang?” Tanya Elga memperhatikan keluar jendela aula yang memang terlihat
hening dan sepi.
Tia berdiri dari tempatnya, melirik Elga. Mengaduk isi tasnya dan
mengeluarkan sebuah karton dari dalam sana, kemudian menunjukkan isi karton itu
kepada Elga. Elga membaca tulisan yang ada di karton itu serta gambar system
pernapasan yang tertempel di sana “tugas biologi?” tebak Elga, Tia segera
mengangguk dan memasukkan benda itu kembali kedalam tasnya. “waktunya udah
mepet, seharusnya udah gue selesain lusa kemarin” sesal Tia “tapi yaudahlah,
lagian gue juga males pulang kerumah” ceplosnya.
Elga melirik gadis itu, mungkinkah dia sama sepertinya yang orang
tuanya sudah…..”mama maksa buat pulang cepet, katanya dia udah masakin masakan
kesenangan gue. Papa juga kayaknya udah mau pulang dari Milan. Tambah jadi aja males
pulang kerumah” Tia segera bersuara menghentikan pikiran yang tidak-tidak
dibenak Elga. Ternyata salah, untung saja, batin Elga dalam hati.
“bukannya itu bagus?”
“bagus apanya? Punya orang tua protektif itu nyiksa tau gak,
apa-apa gak boleh, mau kayak gini diatur, kayak gitu diatur. Kita kayak gak
punya space, padahalkan ini
hidup-hidupnya kita.” Jawab Tia cepat
“semestinya kamu bersyukur lagi, berarti mereka peduli sama kamu”
bela Elga. Tia terdiam, memang benar sih tapi persepsi orang kan beda-beda.
Terutama yang menyangkut masalah hal ini. Masalah keluarga.
Sejenak terlintas sebuah rencana di otak Tia “eh, gimana kalo lo ikut
kerumah gue? Pasti mama bakal seneng, karena bakalan ada orang baru yang
nyicipin masakan buatan dia. Mau ya, anggep aja salam perkenalan dari gue?”
pinta Tia bersungguh-sungguh. Elga menatap wajahnya yang terlihat tulus,
lagipula bukankah Papa belum pulang kerumah? Dan rumah pasti akan sangat sepi
bukan? Baiklah, anggap saja ini bayaran atas latihannya hari ini. Elga
mengangguk, membuat senyum Tia mengembang. Tia segera mengirimkan sms ke
mamanya dan memberitahu bahwa dia akan membawa seorang teman kerumah
bersamanya. Setelah mengirim pesan dan yakin pesannya telah terkirim Tia segera
mengambil alih, memimpin langkah untuk menuju kerumahnya. Dan Elga hanya bisa
menurut tanpa bisa protes.
******
Suasana di rumah Tia sangat berbeda dengan suasana di rumah Elga.
Rumahnya yang terletak di pinggir jalan membuatnya terlihat ramai. Berbeda
dengan rumah Elga yang terletak di sebuah kompleks perumahan. Rumahnya terlihat
minimalis dengan perpaduan beberapa warna yang terkesan monochrome ditambah dengan aksen kaca transparan yang terdapat
hampir diseluruh ruangan yang menjadikan rumahnya terlihat tambah modern. Banyak orang yang ada dirumah
Tia. Dan ketika berpapasan dengan mereka, Tia segera menjelaskan siapa saja
mereka dan mengapa mereka ada di rumahnya. Seperti ketika dia menjelaskan
tentang adik laki-laki kecil berlesung pipit di kedua pipinya, yang ternyata
adalah keponakan Tia, dia menyatakan bahwa ibu dari anak itu sedang bekerja di
luar negeri karena ayahnya telah meninggal. Jadi, untuk sementara selama ibunya
bekerja di luar negeri adik kecil itu tinggal dirumah Tia dan sepertinya Tia
juga sangat menyukai anak kecil. Sejauh ini dari kacamata Elga dia tahu bahwa
gadis ini cukup ramai dan sangat mudah membaur.
“gimana masakan tante?” Elga menatap Mama Tia, dan disinilah
mereka. Di meja makan keluarga Wirawan, keluarga besar Tia. “enak banget tante,
sebanding dengan masakan chef
terkenal” jawab Elga jujur. Mama Tia tersenyum, sepertinya dia begitu merasa
puas dengan hasil masakannya hari ini.
“oh iya dek, gimana tadi disekolah ?
tugas yang ketinggalan itu gimana ceritanya? Dan pelajaran kamu hari ini
ngebosenin gak?” Tanya Mama Tia penuh kasih sayang. Elga dibuat iri olehnya.
Kapan dia dapat merasakan hal yang demikian ? semua itu hanya tinggal harapan.
Harapan yang mungkin takkan pernah terwujud.
“please ma bisa gak sih sekali aja gak usah
berlebihan kayak gitu, lagian mama tuh nanyain terus pertanyaan yang sama
setiap hari” Tia menghentikan acara makan-makannya.
“mama kan cuma……”
“udah ah, aku udah selesai”potong Tia meninggalkan mamanya
sendirian. Elga menatap Mama Tia simpati.
“biar aku aja yang nyusul Te, tante duduk aja disini.” Elga
berusaha menenangkan Mama Tia yang dia tahu pasti sangat shock melihat kelakuan anaknya itu, Mama Tia mengangguk. Membiarkan
Elga mengejar Tia ke halaman belakang “tolong tante ya nak Elga” katanya
kemudian dengan penuh harapan. Elga mengangguk pelan. Dia akan berusaha, Tia
benar-benar aneh, kenapa dia justru merasa bahwa perhatian yang diberikan
Mamanya sebagai sesuatu yang menyiksa ? padahal bagi Elga, itu adalah sesuatu
yang sangat dia harapkan sejak dulu. Mendapatkan kasih sayang dari seorang
Mama.
Elga mencoba menyapu pandangannya keseluruh sisi halaman belakang
ini. Dan dengan mudah dia bisa mendapati Tia sedang duduk di salah satu kursi
dibagian kiri halaman, dia membelakangi Elga, jadi Elga tidak tahu bagaimana
ekspresi wajahnya saat ini. Elga perlahan mendekat, dan segera mengambil tempat
disebelah Tia. Tak ada yang bersuara selama beberapa menit. Tia terlihat
seperti enggan bercerita, membuat Elga terdiam ditempatnya, memasati paras
cantik gadis itu yang sekarang ini tengah berlinang dengan air mata.
“Dulu, Mama sama Papa gak kayak gitu Ga. Mereka sama sekali gak
pernah naruh perhatian ke gue, dan lebih menderitanya lagi gue kayak hidup
dalam bayangan kakak gue, kemana-mana gue dipandang sebagai adiknya kakak gue
dan gak pernah dipandang sebagai diri gue sendiri. Lo tahu? Itu bener-bener
nyiksa Ga, gue….gue gak mau dapet perlakuan gak adil kayak gitu.” Setelah
beberapa lama. Akhirnya Tia meluapkan begitu saja emosinya yang selama ini dia
pendam, Entah mengapa dia merasa harus membagi ceritanya ini dengan seseorang
dan dia rasa Elga adalah orang yang tepat.” Gue udah nyoba, gue tetep bertahan
dengan semua pandangan baik mereka tentang kakak gue, gimana mereka
ngebandingin gue dengan dia, gimana dia lebih di dahuluin daripada gue, dan
gimana dia ngedapetin sesuatu, yang seharusnya gue dapetin. Gue terima, gue
juga bangga punya kakak kayak dia. Tapi gue gak bisa terima, kalo gue harus
gantiin posisi dia. Jadi anak kesayangan Papa, Mama. Yang harus patuh sama
mereka” Tia berhenti sejenak, mengusap matanya yang berair. Elga belum bisa
bersuara, dia ingin gadis itu menyelesaikan dulu ceritanya baru dia akan
berkomentar.
“Kakak milih buat kerja di Luar Negeri setelah dia nyelesain
kuliah di sana, dan dengan tegas nolak keinginan Papa buat ngegantiin Papa,
ngelanjutin perusahaan keluarga yang kata Papa sudah dia bangun dengan susah
payah, dia juga nolak perjodohan antara dia dengan salah satu anak client Papa. Karena, menurut cerita dia
ke gue, dia udah nemuin pendamping hidup disana, dan dia yakin dia beneran
cinta sama tuh cewek. Ya, gue sih ngedukung aja, asalkan Kakak gue seneng dan
bisa bahagia. Tapi gue gak tau, malam petaka malah menghantui gue. Papa jadi
gak mau nganggep dia sebagai anak lagi. Dan bener-bener nganggep kalo anaknya
itu Cuma gue, dan itu ngebuat apa-apa yang gue mau harus ditentuin dulu sama
Papa, Lo bayangin aja. Dari sekolah, jurusan, baju, makanan, minuman, sampe
temen juga harus ditentuin. Tapi, gue bisa apa coba? Gue belum bisa ngasilin
uang kayak kakak gue, Andai aja gue bisa mungkin gue udah lama kabur dari rumah
ini. Menurut lo, apa tindakan gue ini bener? Gue gak tahu lagi mesti gimana?
Gue bingung” Tia tertunduk frustasi
Elga tertawa lirih, menerawang ke depan. Menatap hampa langit biru
yang mulai mengukir pias warna senja. “Sebenarnya kalo harus jujur, kamu itu
jauh lebih beruntung dibandingin aku, keluarga kamu masih utuh, nah aku?” Elga
merasa miris mengingat jalan hidup yang dia harus lalui, Tia menatap Elga tak
mengerti. “Sudah sekitar delapan tahunan aku gak ngelihat muka mama, setelah
proses perceraian yang entahlah harus disebut seberapa menjijikannya itu
terjadi. Dan Papa? yang masih bisa aku lihat, paling ada disamping aku sebulan
dua kali, bahkan mungkin setahun bisa di hitung pakek jari seberapa banyak aku
bisa ketemu sama dia. Dia terlalu sibuk, dan sama kayak kamu, aku bisa apa?
Ngebantah? Percuma aja, aku yakin bantahan aku gak bakal didengerin. Semuanya
Cuma sia-sia. Dan kamu bisa saksiin gimana suasana dirumah aku nanti, bisa
dibilang jauh lebih sepi dari kuburan. Gak ada yang namanya kumpul-kumpul,
malah gak akan pernah ada. Aku kesepian, ya memang. Oleh dari itu aku selalu punya
kegiatan tiap harinya, entah itu ekskul, les atau sekadar main PS di rumah Bara
bareng temen-temen aku yang lain. Aku selalu bermimpi bisa dapet kasih sayang
kayak yang di beriin Mama kamu tadi Tia, kamu bener-bener beruntung ngedapetin
Mama seperhatian dia” kata Elga bersungguh-sungguh, meyakinkan Tia lewat
tatapan matanya.
“Tapi, aku gak butuh” ucap Tia terdengar tak acuh
“Aku bukan satu-satunya orang yang menderita akibat perceraian
orangtua, masih banyak lagi di luar sana, yang mungkin lebih menderita dari aku
dan butuh banget kasih sayang dari orangtua mereka terutama sosok dari seorang
Mama.”Elga menyakinkan Tia “Kamu beruntung itu yang perlu kamu tau”
Tia terdiam ditempatnya, apa mungkin
yang dilakukannya selama ini salah? Apakah ini Cuma karena egonya saja? Tapi
dia benar-benar tidak meyukai itu semua, tapi Mama memang tulus menyayanginya,
jadi kenapa dia harus membenci Mamanya. Ditatapnya Elga yang sedang duduk
disebelahnya. Jadi, orangtua Elga sudah bercerai? Tapi kenapa dia kelihatan setabah
itu. Dan bagaimana mungkin dia bisa…… bisa tetap bertahan.
“Aku mohon, tolong kamu temui mama
kamu Tia. Minta maap sama dia, aku yakin dia bener-bener terpukul tadi. Aku
bisa lihat, kasih sayangnya benar-benar tulus. Dan aku rasa kamu juga tahu
itu.” Tia hanya bisa diam, dipikirkannya matang-matang tentang apa yang
dikatakan Elga barusan, dan dia rasa Elga benar. Dia yang salah dan dia harus
meminta maap kepada Mamanya. Elga bangkit dari tempat duduknya, mengulurkan
tangan mengajak Tia untuk kembali kedalam rumah. Tia masih bimbang, ditatapnya
tangan dan wajah Elga bergantian, rasa ragu itu masih belum bisa dipatahkannya.
“Dengan minta maap bukan berarti sepenuhnya kamu bersalah” Elga kembali
menyakinkan Tia, dengan menghembuskan nafas secara perlahan Tia menerima uluran
tangan Elga dan kembali masuk kedalam rumah, menuju ke meja makan. Tia bisa
melihat Mamanya sedang tertunduk lesu tanpa semangat, matanya merah dan sembab.
Dengan penuh penyesalan Tia berjalan mendekat kearah Mamanya.
“Maafin Tia Ma. Tia yang salah, Tia
Cuma gak mau jadi pelampiasan atas kepergian Kakak, Tia cukup bahagia dengan
perlakuan Papa dan Mama yang biasa. Dan sebenarnya Tia sayang banget sama Mama,
Tia gak mau Mama ngebenci Tia. Maafin Tia Ma.” Aku Tia bersungguh-sungguh, Mamanya
mendongakkan kepala menatap penuh arti putri kesayangannya dan tak ada alasan
baginya untuk tidak memeluk tubuh putrinya itu. “Mama yang salah nak.
Seharusnya Mama gak perlu ngebeda- bedain kamu dengan Kakak kamu. Mama sayang
sama kamu nak, Mama sayang sama kalian berdua. Anak-anak kebanggaan Mama. Mulai
sekarang Mama janji, Mama gak akan bersikap terlalu berlebihan ke kamu. Mama
gak mau kamu juga pergi ninggalin Mama, Mama gak mau.”
“Gak akan Ma, karena Tia sayang sama
Mama.”
Elga tersenyum tanpa henti,
ditatapnya Mama Tia dan Tia bergantian. Sekarang dia semakin tahu apa arti
sebuah keluarga yang utuh dan betapa sulitnya menjaga hubungan keluarga itu
sendiri. Dia sangat senang, melihat Tia sudah bisa mengakui bahwa sebenarnya
dia menyayangi Mamanya dan melihat Mama Tia memeluknya dengan penuh kasih
sayang. Meskipun, bukan dia yang merasakannya, bukan dia yang berada diposisi
Tia. Yang bisa merasakan dekapan hangat seorang Ibu. Elga masih percaya, kelak
suatu hari ketika saatnya akan tiba, Mama akan datang untuknya, selalu berada
disampingnya kapanpun dan dimanapun itu. Setidaknya sekarang Elga tahu, dia
harus tetap hidup. Menjaga harapannya agar tetap utuh dan mewujudkannya suatu
hari nanti.
*******
Semburat warna jingga yang mengganti
birunya langit sudah mulai terpancar, melengkapi selarasnya harmoni alam yang
begitu indah. Udara sejuk, jauh dari hiruk pikuk keramaian, gemerisik air
sungai yang berdetam perlahan, bernyanyi riang membentuk siluet ketenangan.
Tanpa terasa sudah enam bulan lamanya Elga dan Tia saling mengenal, membuat
mereka dekat dan sering berbagi begitu banyak cerita. Dan selama itu pula
banyak hal yang telah terjadi. Membuat masing-masing dari mereka semakin tahu
satu sama lain. Walaupun mereka berdua masih memendam rahasia yang masih belum
siap mereka lontarkan. Tentang sebuah rasa, yang mereka tak tahu harus disebut
apa.
“Kamu tahu? Setelah penelusuran
alamat Mama aku sukses, dia jadi sering banget ngunjungin aku dan sekarang Papa
juga udah mulai ngurangi intens pekerjaannya,
bahkan lusa kemarin mereka berdua sempat ngeliat pertandingan Anggar yang aku
ikutin. Ini semua juga berkat kamu, terima kasih buat semua yang udah kamu
lakuin buat aku.” Ucap Elga tulus kepada Tia. “Dan aku masih berharap, semoga
mereka bisa bersatu. Lagi pula Mama masih sendiri dan Papa juga begitu.” Elga
kembali berkicau riang, Tia yang diajak bicara malah tak henti-hentinya
tersenyum. Dia senang melihat Elga bahagia seperti ini. Melihat senyumnya yang
terus mengembang diwajah tampannya.
“Aku ikut seneng Ga, dan harapan aku
juga sama kayak kamu. Apalagi kalo itu semua bisa bikin kamu bahagia terus
kayak sekarang dan apa yang udah aku lakuin gak sebanding dengan apa yang udah
kamu lakuin, kamu udah bikin mata aku kebuka dan gak buta lagi karena amarah.”
Tia berkata jujur dan yah, sekarang Tia tak lagi menggunakan istilah “Lo”Gue”
saat berbicara dengan Elga. Entah karena apa, Tia sendiri pun masih merasa
ringkuh saat menggunakan kata “Aku” “Kamu”, bukan seperti dirinya sendiri. Tapi
demi Elga apa boleh buat?
“Jangan pernah berubah” Elga berkata
lirih.
“Apa?”Tanya Tia spontan merasa
pendengarannya bermasalah.Jangan pernah
berubah?
“Iya, jangan pernah berubah. Tetap
kayak gini, selalu ada disamping aku sampai kapanpun itu. Karena aku gak akan
ngebiarin apapun ngerubah kamu. Membuat kamu berpaling dari aku. Melihat kesisi
lain dan memperjuangkan rasa yang lain” Elga menatap mata Tia dalam, dan
membuat wajah gadis itu mulai merah padam.
“Maksud kamu apa Ga?” Tanya Tia
semakin bingung menepis tatapan Elga dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang
memerah, Elga diam, dia malah beranjak pergi meninggalkan Tia. Tia segera
bangkit dan mengikuti Elga. Masuk kedalam mobilnya.
“Kamu udah tahu maksud aku apa,
karena aku tahu, kamu juga punya rasa yang sama” Mata Elga berbinar. Dia
tersenyum tak seperti biasanya. Tanpa Tia sadari dia menghela nafas lega. Dia
tidak tahu apa yang menguasainya saat ini. Yang dia tahu dia bahagia. Tentang
semua hal yang telah terjadi selama enam bulan ini dan tentang apa yang barusan
Elga akui.
Elga mengambil satu buket bunga
mawar putih dari jok belakang dan menyodorkan buket itu kearah Tia “Aku sayang
kamu” Elga berbisik pelan, membuat pipi Tia merona. Tia tak kuasa menahan
senyum, jantungnya membentuk irama yang tak karuan. Dengan keberanian besar dia
berusaha menyuarakan enam kata itu, matanya tak lepas dari mata Elga, Elga sang
atlit Anggar yang terkenal cuek dan datar baru saja mengatakan perasaan
kepadanya, Tia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya dia berseru riang,
karena ternyata rasanya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Aku juga sayang sama kamu
Ga” Tia akhirnya mengucapkan kata-kata itu, Elga membalas senyuman Tia, “Aku
janji akan ngebuat hidup kamu bahagia” ucap Elga bersungguh-sungguh, yang
kemudian mengambil tangan Tia dan meletakkan didadanya. “Mulai sekarang kamu
resmi jadi pacar aku. Jadi, jangan pernah nyoba-nyoba buat selingkuh. Kalo
enggak…..”
“Kalo enggak apa?”
“Aku bakalan maksa kamu bilang IYA” Teriak Elga di telinga Tia, Tia cemberut
ditempatnya, Elga kembali menggoda gadis itu. Sampai gadis itu tersenyum lagi
untuknya. “Aku gak akan pernah ngebiarin senyum kamu pudar. Aku janji itu.”
Bisiknya pelan.