Pages

Monday, November 18, 2013

Sebuah Pelajaran Tentang Rasa yang Tak Kunjung Terucap


Wajib dibaca !
 Judul buku          : Seandainya
 Penulis                 : Windhy Puspitadewi
 Editor                  : eNHa
 Penerbit              : Gagas Media
Cetakan/Tahun   : Ketiga/2012
Tebal buku          : xii + 226 halaman
Ukuran buku      : 13 x 19 cm
Harga                 : Rp. 42.000,-

Windhy Puspitadewi, salah satu novelist Indonesia yang namanya memang familiar di telinga para remaja penikmat novel. Diusianya yang ketiga puluh, Ibu dari satu orang anak yang lahir pada tanggal 14 Februari 1983 ini, sudah mampu menghasilkan sembilan karya yang semuanya adalah novel-novel bergenre remaja. Disetiap karya yang mbak Windhy buat, selalu memiliki ciri khas yaitu nilai moral yang bergitu kental dan mampu membuat hati para pembacanya menjadi tersentuh, lewat berbagai kata-kata bijak yang dia sampaikan. Karena bagi dirinya sendiri menulis merupakan salah satu cara untuk berbagi pikiran, perasaan, mimpi, imajinasi, dan cita-citanya dengan orang lain.
Novel ini menceritakan tentang sebuah kejadian aneh yang mempertemukan Rizki, Juno, Arma dan Christine pada satu situasi, yang ternyata menjadi awal persahabatan mereka dimulai. Dari sanalah, akhirnya mereka saling mengenal dan mulai dekat satu sama lain. Hingga suatu ketika munculah berbagai masalah yang seakan terus datang silih berganti mengisi kehidupan mereka.
Diawali dengan adik angkat Rizki, yang bernama Agus. Yang tiba-tiba mengambil langkah untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, karena permintaannya tidak lagi dituruti oleh kedua orangtuanya. Dan jalan yang sama pun hampir diambil oleh Christine. Gadis cantik ini sudah hampir menarik pelatuk tepat di kepalanya jika saja Rizki tidak datang dan membuatnya berpikir dua kali untuk mengambil tindakan bodoh itu.
Masalah lain datang dari Arma, dia selalu menginginkan sebuah pengakuan akan dirinya dari Juno, adiknya sendiri. Rasa tak berguna dan bukan menjadi Kakak yang baik selalu menghantui Arma,membuat keinginannya semakin kuat, keinginan untuk membuat Juno bangga padanya. Hingga akhirnya dia menyadari, bahwa rasa bangga Juno kepadanya tidak harus dikatakan. Karena bagaimanapun Arma adalah seorang Kakak bagi Juno. Dan kenyataan itu sampai kapanpun tidak akan pernah berubah.
Di bagian akhir, dua diantara mereka kembali dipertemukan, yaitu Rizki dan Juno. Sebuah pengakuan yang selama ini terpendam akhirnya mereka katakan. Tentang rasa satu sama lain yang ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Namun, kebahagiaan itu seakan sirna ketika Rizki mengangkat jarinya yang dilingkari cincin pertungannya dengan Dessy. Yang dengan cepat berhasil mematahkan hati Juno dan membuatnya pergi meninggalkan Rizki sambil menahan air matanya. Seketika itu Rizki kembali mengingat apa yang pernah dikatakannya dulu kepada semua sahabat-sahabatnya ketika mereka dalam masalah “Ada sesuatu, yang harus dikatakan dulu baru bisa dimengerti”, dan seketika rasa sesal pun menyeruak di dalam dadanya. Dan dia mengiyakan kebenaran tentang apa yang dikatakannya dulu dan dia sadar bahwa tak selamanya diam akan membawa akhir bahagia.
Dengan alur yang mengalir indah dan bahasa yang mudah dicerna, membuat novel ini tidak membingungkan dalam penyampaian ceritanya. Dan seperti novel-novel lainnya, novel Windhy yang satu ini juga memiliki nilai moral yang begitu kuat, yang diperjelas dengan kalimat “Ada sesuatu,  yang harus dikatakan dulu baru bisa dimengerti”,yang memberikan pelajaran berharga disetiap sub-babnya.Selain itu, novel ini juga mendapatkan nilai tambah dari segi sampul yang menarik dan sinopsis yang begitu menyentuh hati, dengan kata-kata puitisnya yang indah. Ditambah lagi penokohan setiap tokoh yang juga terlihat begitu hidup dan nyata.
Sebuah karya pasti juga memiliki kekurangan, sama halnya dengan novel ini. Perpindahan sudut pandang yang terbilang cepat bisa membuat kita membuka halaman sebelumnya untuk mengingat kembali kejadian yang sudah diceritakan dan hubungannya dengan sub-bab yang sedang kita baca. Dan di beberapa halaman terlihat ada bebetapakata yang salah cetak ataupun salah dalam pengetikannya. Serta akhir cerita yang ternyata tidak sesuai dengan prediksi pembaca mungkin akan sedikit membuat rasa kecewa di hati kita, para penikmat novel. Namun walaupun begitu, kekurangan yang dimiliki novel ini dapat tertutupi dengan berbagai pelajaran yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah jangan pernah berniat untuk mengakhiri hidup, karena hidup terlalu berharga untuk diakhiri.
Novel ini sangat cocok sekali menjadi motivasi hidup bagi kita dalam mengambil langkah untuk membuat keputusan. Karena dengan membaca novel ini,kita akan menyadari tentang berharganya hidupyang kita miliki serta pentingnya sebuah pengakuan yang harus dikatakan.Jadi, novel ini sangat pantas menjadi salah satu koleksi terbaru di rak buku kalian.Karena saya jamin, setelah membeli novel ini kalian tidak akan merasa menyesal dan malah sebaliknya kalian akan merasa puas dengan cerita yang telah disajikan.

Thursday, October 24, 2013

Sasuke Uchiha's Quotes


"Apa yang aku harapkan bukanlah sebuah mimpi, karena aku akan mewujudkannya"
"Dulu kau yang mengajarkanku kebencian. Dan karena itulah aku kuat"
"Aku sudah tak selemah dulu. Jangan pernah meremehkanku"
"Itu bukan alasan bagiku untuk mengejarmu sampai kesini. Aku hanya ingin berbicara denganmu. Seperti janjimu sebelum kau mati"
"Ketika kau hidup, kau tidak memperdulikanku, kenapa sekarang ketika kau sudah mati kau juga melakukan hal yang sama"
"Sudah berapa kali kau berbohong tentang akan berbicara lain kali kepadaku? tapi untuk kali ini... Aku akan mencoba mempercayaimu"
"Karena aku menganggap kau adalah teman terbaikku"
"Sekarang tujuanku adalah negara ini"
"Aku dan dia (Itachi) melihat dengan mata yang sama. Tetapi, dengan cara yang berbeda"
"Karena jika aku melakukannya. Itu sama saja aku telah membuatnya merasa menang. Dan aku membenci hal itu"
"Anak ini, dia sudah bertambah kuat"
"Aku ingin sekali melawanmu Naruto. Karena hanya kau yang mengerti bagaimana rasanya kesepian sama sepertiku"
"Kau takkan mengerti, karena kau sudah sendirian sejak kau lahir. Sedangkan aku? Aku sudah melihat semua keluargaku dibantai di depan mataku sendiri"
"Aku tidak akan memikirkan masa depan sebelum masa laluku terbalaskan"
"Kita melihat kebahagiaan seperti melihat pelangi. Dia tidak pernah terlihat di atas kepala kita, tetapi selalu terlihat dikepala orang lain"
"Impianku bukan dari masa depan. Impianku dari masa lalu"
"Kebencian membuatmu kuat." 

Wednesday, October 23, 2013

Sisca's Birthday, 13rd August 2013

My Special D'ECLIPS






D'ECLIPS = Dika Eva Cie Lilis Iyen Putri Sisca
We have all of the moments when we are together. There's so much thing for to do. We gonna complete each other. And Honestly, I cant forget our the best time ever. 
I wish that we gonna be the last. Still together for yesterday, today, tomorrow and the day after tomorrow.
I'm so lucky have all of them.
Love ya 

TIDAK SEBERUNTUNG AKU



“Oh itu ya kantor pengadilan agama ? gak keduga banget bisa ada disini” tunjuk Azam kearah gedung cokelat yang berdiri kokoh di sisi kanan jalan ”Siapa ya yang kira-kira bakalan datang? Tempatnya aja di pelosok kayak gini?” kata Azam tanpa sadar, dan tak mendapat respon apa pun dari teman-temannya yang berada di dalam mobil saat itu. Namun, kalimat Azam barusan bisa dengan berhasil membuat Elga memutar kepala dan menjatuhkan tatapan dingin kearahnya. Yang kemudian, dengan sesegera mungkin mengalihkan pandangannya keluar jendela, menatap penuh arti  gedung  berwarna cokelat yang dimaksud Azam barusan, yang terlihat sudah lumayan jauh  dari jangkauan matanya.

            “Kantor pengadilan agama” gumam Elga dalam hati dengan tawa lirih. Dia segera menyenderkan tubuhnya ke jok mobil dan melipat kedua tangannya didepan dada seraya mencoba memenjamkan mata. Elga ingin menjernikan pikirannya, moodnya benar-benar langsung berubah. Sumpah demi apapun, Elga sangat membenci tempat itu, dan dia sendiri berjanji dia takkan pernah mengijakkan kakinya ke tempat itu lagi. Tempat dimana papa dan mamanya di depan mata kepalanya resmi dinyatakan bercerai dan sekaligus menjadi awal kepedihan yang di rasakannya saat ini dimulai. Membuat papanya  tak mempedulikannya lagi bahkan juga membuat mamanya menjadi lenyap dari hadapannya. Hilang entah kemana, meninggalkan tanggung jawab yang semestinya dia lakukan untuk Elga, menjadi seorang ibu yang utuh untuknya. Elga selalu merasa ngeri membayangkan apa yang sudah terjadi untuk hidupnya, kehilangan sosok orangtua yang seharusnya ada di sampingmu, menyayangimu setulus hati, dan memmberikan segala perhatian yang kau butuhkan. Mereka memang terlalu egois, hanya memikirkan apa yang mereka inginkan, kecam Elga penuh amarah. Tetapi, siapa yang harus di salahkan, semuanya telah terjadi dan mungkin itulah yang terbaik. Dan bagaimana pun mereka akan tetap menjadi orang tuanya, orangtua kandung baginya. Dan dia tidak bisa membenci keduanya, dengan alasan apapun. Kenyataan tidak akan pernah berubah.
 Azam yang menyadari perubahan raut wajah Elga segera merasa bersalah, dia lupa kenyataan bahwa papa dan mama Elga yang sudah bercerai. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri karena sudah dengan sangat bodoh mengatakan kata-kata itu barusan yang dia tahu telah dengan berhasil membuka kembali lembaran memori yang seharusnya tidak diingat oleh Elga. Azam melirik kearah teman-temannya yang lain, mencoba bertanya tentang apa yang harus dia lakukan lewat isyarat mata. Bara segera mengerti isyarat yang diberikan oleh Azam, diliriknya Elga yang sedang menyandarkan diri di jok mobil, membuang wajah kearah jendela, menatap kosong ke sana. Dan hal itu membuatnya begitu geram untuk tidak bertanya.
“Lo baik-baik aja Ga ?” pertanyaan itu dengan mulus keluar dari mulut Bara, membuat semua temannya sadar tentang apa yang barusan terjadi. Azam menatap kearah Elga yang mendongakkan kepalanya sedikit keatas menatap Bara yang sedang menyetir di bangku depan “maafin aku Ga” aku Azam tulus dengan rasa sesal “bukan masalah besar” jawab Elga dengan datar tanpa senyum, dia pun langsung memejamkan matanya, tanpa berniat memberi komentar lebih lagi. Azam bergerak lesu di tempatnya. Suasana menjadi canggung , tidak ada obrolan yang mereka ciptakan. Hanya hening yang terdengar di sisa perjalanan mereka. Elga tidak tahu harus bersifat bagaimana sekarang. Dia tahu dia tak seharusnya melampiaskan masalah ini kepada teman-temannya, tetapi dia hanya ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Dia ingin melupakan masalah ini sejenak. Masalah tersulit yang pernah ada di dalam hidupnya, masalah tentang keluarganya.
**********
            Ruangan keluarga ini memang selalu terasa sepi, membekaskan sebuah keheningan yang menusuk kedalam tulang. Sejak satu jam yang lalu Elga sudah sampai di rumahnya, selalu saja ketika melangkahkan kakinya kembali kerumah, hatinya mengharapkan sesuatu, sesuatu yang mungkin mustahil dapat menjadi kenyataan. Sesuatu itu adalah dia dan mereka dapat berkumpul diruangan ini bersama seperti dulu, mereka ….. orangtuanya. Namun, mau pulang jam berapa pun suasana ruangan ini akan tetap terasa hening, sepi, mati. Tak akan ada yang bisa berkumpul disini, yang satu terlalu  sibuk dan yang satu lagi sudah hilang entah kemana, sangat membingungkan. Jika begitu…… Kenapa dulu ruangan ini harus dibuat ?.
 Tiba-tiba saja, handphone Elga berdering. Membuatnya dengan sigap segera mengangkatnya karena telpon itu dari papanya. Sebelum papanya memberi tahu apa yang ingin dikatakannya, Elga sudah bisa menebak tentang apa yang akan di katakannya nanti.
“papa tidak pulang hari ini Ga, rencana akhir minggu kita terpaksa tertunda” Kata-kata itu menerjang gendang telinga Elga bahkan sebelum ia sempat berkata “Halo” kepada papanya. Ia bahkan juga belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga. Sesuai dugaan, pikir Elga. Sejenak Elga tertegun, dia begitu mengenali suara papanya yang seperti ini, pasti dia sangat sibuk sekarang dan Elga akan mencoba untuk memberi pengertian untuk papanya “Baik Pa” jawabnya tanpa respon berlebih.
Papanya terdiam diujung sana, entah karena sudah kembali fokus mengerjakan pekerjaannya atau malah bingung dengan respon yang diberikan oleh anaknya, yang tak sesuai dengan prediksinya. Dia kira Elga akan sangat marah, karena lagi-lagi rencana mereka harus tertunda atau bahkan tidak akan pernah terlaksanakan dikarenakan kesibukannya “kamu baik-baik aja kan Ga?” Tanya papanya khawatir.
Elga berjalan kearah dapur, ingin mengambil segelas air untuk kerogkongannya yang tengah sekarat, membuat papanya menunggu di ujung telpon “Iya Pa” Elga meneguk airnya dengan cepat “ lagian gak jadi dilakuin juga gak apa-apa! Papa fokusin aja terus ngerjain proyek Papa” katanya dengan nada sindiran, terdengar tak acuh.
“Papa janji, papa akan segera pulang” papanya mencoba menyakinkan Elga, yang sedang diyakinkan hanya bisa berdeham pelan “papa janji, rencana kita bakalan segera kita lakuin” lanjutnya kemudian, Elga menanggapinya dengan tidak bersemangat.
 Kemudian Elga teringat sesuatu “Pa, aku ada permintaan” katanya “apa?” Tanya papanya cepat
“Ruang keluarga kita….” Timbangnya sejenak “lebih baik diganti, percuma gak pernah digunain” katanya spontan “kita juga gak pernah kumpul bareng kan ? oh ya Pa, ada telpon masuk” katanya berbohong “udah dulu ya” Tanpa menunggu jawaban Papanya ia menutup ponsel, dan menjejalkan benda itu ke saku celana putih abu-abunya. Apakah dia sudah lancang? entahlah.
***
Sejak kemarin Elga belum berbicara dengan teman-temannya. Dan hari ini rencananya untuk membuka suara gagal dia laksanakan. Terlalu banyak praktek dan tugas, sehingga dia begitu sibuk, ditambah lagi kenyataan bahwa lomba Anggar yang dia ikuti akan segera dilaksanakan pada pertengahan bulan ini. Yang membuatnya harus merelakan waktu istirahanya untuk berlatih di aula sekolah. Hingga sekarang, ketika semua orang sudah meninggalkan sekolah, Elga masih tetap disini. Tetap berlatih lengkap dengan segala macam perlengkapan Anggarnya. Yang membuatnya tidak jadi mengatakan bahwa dia sudah lebih baikan kepada teman-temannya. Dan mereka tidak harus merasa bersalah, terutama Azam.
Elga merasakan seluruh badannya mulai pegal akibat berlatih sedari tadi, kira-kira sudah empat jam lebih dia disini. Dan dia pun memutuskan untuk mengakhiri latihannya pada hari ini sampai disini dulu. Dan kemudian dia bergegas, membereskan segala perlengkapan yang dibawanya. Dan terpaksa dia harus menyeret kakinya kembali ketempat yang seperti kuburan baginya. Kembali kerumah.
********
Keadaan sekolah sudah lengang, tidak ada seorang pun yang dapat terlihat. Tia yang masih ada tugas tambahan terpaksa tertahan disekolah untuk sementara. Namun, suara pedang yang sedari tadi berdenting dari arah aula sejak tadi menarik perhatiannya. Dan ketika tugas yang dia kerjakan sudah selesai. Dia segera menyeret kakinya menuju aula, dia begitu penasaran tentang siapa yang masih bertahan disekolah pada jam segini dan apa yang sedang dia lakukan disana sendirian. Dia berharap orang itu dapat merespon baik kedatangannya. Baru satu langkah dia melangkah, handphonenya segera berdering. Ternyata sms dari mama.
Dek, pulangnya cepetan dong.
Pasti adek belum makan kan ?
Mama udah masakin masakan kesukaan adek,
Kalo mau ajak temen juga gak papa
Mama tunggu ya !
Dibacanya pesan itu tanpa minat, males ih, batin Tia dalam hati. Mama memang berlebihan. Bodoh ah. Putusnya kemudian dan kembali melanjutkan langkahnya.
***
“lo lagi ngapain sih ?” Elga terlonjak kaget karena tanpa dia duga ada seorang cewek yang tiba-tiba masuk ke dalam aula dan sekarang berada tepat didepannya. Cewek itu menunggu respon Elga, sambil duduk di deretan bangku yang berada di depannya.
“latihan Anggar” jawab Elga mencoba seramah mungkin.
Cewek itu bergumam pelan “oh, jadi lo itu yang namanya Elga Arta Wi…” kata cewek itu mencoba mengingat “Winata” sambung Elga kemudian. Dia heran kenapa cewek itu bisa tahu namanya, setidaknya nama depan dan nama tengahnya. Apakah ini semua karena dia adalah satu-satunya atlet Anggar di sekolahnya? Namun, pertanyaan itu lebih baik dia simpan terlebih dahulu. Dia tidak ingin cewek ini beranggapan bahwa Elga adalah orang yang sok.
Cewek itu tersenyum malu. “kenalin gue Tia” katanya seraya menjulurkan tangannya. Elga menerima uluran tangan itu dengan baik “latihannya udah selesai ya?” Tanya cewek itu yang ternyata bernama Tia.
“iya, sudah empat jam latihan, kayaknya aku harus pulang buat istirahat” aku Elga yang merasa badannya sudah kurang fit. “eh ya, kamu ngapain masih disekolah, bukannya yang lain sudah pada pulang?” Tanya Elga memperhatikan keluar jendela aula yang memang terlihat hening dan sepi.
Tia berdiri dari tempatnya, melirik Elga. Mengaduk isi tasnya dan mengeluarkan sebuah karton dari dalam sana, kemudian menunjukkan isi karton itu kepada Elga. Elga membaca tulisan yang ada di karton itu serta gambar system pernapasan yang tertempel di sana “tugas biologi?” tebak Elga, Tia segera mengangguk dan memasukkan benda itu kembali kedalam tasnya. “waktunya udah mepet, seharusnya udah gue selesain lusa kemarin” sesal Tia “tapi yaudahlah, lagian gue juga males pulang kerumah” ceplosnya.
Elga melirik gadis itu, mungkinkah dia sama sepertinya yang orang tuanya sudah…..”mama maksa buat pulang cepet, katanya dia udah masakin masakan kesenangan gue. Papa juga kayaknya udah mau pulang dari Milan. Tambah jadi aja males pulang kerumah” Tia segera bersuara menghentikan pikiran yang tidak-tidak dibenak Elga. Ternyata salah, untung saja, batin Elga dalam hati.
“bukannya itu bagus?”
“bagus apanya? Punya orang tua protektif itu nyiksa tau gak, apa-apa gak boleh, mau kayak gini diatur, kayak gitu diatur. Kita kayak gak punya space, padahalkan ini hidup-hidupnya kita.” Jawab Tia cepat
“semestinya kamu bersyukur lagi, berarti mereka peduli sama kamu” bela Elga. Tia terdiam, memang benar sih tapi persepsi orang kan beda-beda. Terutama yang menyangkut masalah hal ini. Masalah keluarga.
Sejenak terlintas sebuah rencana di otak Tia “eh, gimana kalo lo ikut kerumah gue? Pasti mama bakal seneng, karena bakalan ada orang baru yang nyicipin masakan buatan dia. Mau ya, anggep aja salam perkenalan dari gue?” pinta Tia bersungguh-sungguh. Elga menatap wajahnya yang terlihat tulus, lagipula bukankah Papa belum pulang kerumah? Dan rumah pasti akan sangat sepi bukan? Baiklah, anggap saja ini bayaran atas latihannya hari ini. Elga mengangguk, membuat senyum Tia mengembang. Tia segera mengirimkan sms ke mamanya dan memberitahu bahwa dia akan membawa seorang teman kerumah bersamanya. Setelah mengirim pesan dan yakin pesannya telah terkirim Tia segera mengambil alih, memimpin langkah untuk menuju kerumahnya. Dan Elga hanya bisa menurut tanpa bisa protes.
******
Suasana di rumah Tia sangat berbeda dengan suasana di rumah Elga. Rumahnya yang terletak di pinggir jalan membuatnya terlihat ramai. Berbeda dengan rumah Elga yang terletak di sebuah kompleks perumahan. Rumahnya terlihat minimalis dengan perpaduan beberapa warna yang terkesan monochrome ditambah dengan aksen kaca transparan yang terdapat hampir diseluruh ruangan yang menjadikan rumahnya terlihat tambah modern. Banyak orang yang ada dirumah Tia. Dan ketika berpapasan dengan mereka, Tia segera menjelaskan siapa saja mereka dan mengapa mereka ada di rumahnya. Seperti ketika dia menjelaskan tentang adik laki-laki kecil berlesung pipit di kedua pipinya, yang ternyata adalah keponakan Tia, dia menyatakan bahwa ibu dari anak itu sedang bekerja di luar negeri karena ayahnya telah meninggal. Jadi, untuk sementara selama ibunya bekerja di luar negeri adik kecil itu tinggal dirumah Tia dan sepertinya Tia juga sangat menyukai anak kecil. Sejauh ini dari kacamata Elga dia tahu bahwa gadis ini cukup ramai dan sangat mudah membaur.
“gimana masakan tante?” Elga menatap Mama Tia, dan disinilah mereka. Di meja makan keluarga Wirawan, keluarga besar Tia. “enak banget tante, sebanding dengan masakan chef terkenal” jawab Elga jujur. Mama Tia tersenyum, sepertinya dia begitu merasa puas dengan hasil masakannya hari ini.
            “oh iya dek, gimana tadi disekolah ? tugas yang ketinggalan itu gimana ceritanya? Dan pelajaran kamu hari ini ngebosenin gak?” Tanya Mama Tia penuh kasih sayang. Elga dibuat iri olehnya. Kapan dia dapat merasakan hal yang demikian ? semua itu hanya tinggal harapan. Harapan yang mungkin takkan pernah terwujud.
please ma bisa gak sih sekali aja gak usah berlebihan kayak gitu, lagian mama tuh nanyain terus pertanyaan yang sama setiap hari” Tia menghentikan acara makan-makannya.
“mama kan cuma……”
“udah ah, aku udah selesai”potong Tia meninggalkan mamanya sendirian. Elga menatap Mama Tia simpati.
“biar aku aja yang nyusul Te, tante duduk aja disini.” Elga berusaha menenangkan Mama Tia yang dia tahu pasti sangat shock melihat kelakuan anaknya itu, Mama Tia mengangguk. Membiarkan Elga mengejar Tia ke halaman belakang “tolong tante ya nak Elga” katanya kemudian dengan penuh harapan. Elga mengangguk pelan. Dia akan berusaha, Tia benar-benar aneh, kenapa dia justru merasa bahwa perhatian yang diberikan Mamanya sebagai sesuatu yang menyiksa ? padahal bagi Elga, itu adalah sesuatu yang sangat dia harapkan sejak dulu. Mendapatkan kasih sayang dari seorang Mama.
Elga mencoba menyapu pandangannya keseluruh sisi halaman belakang ini. Dan dengan mudah dia bisa mendapati Tia sedang duduk di salah satu kursi dibagian kiri halaman, dia membelakangi Elga, jadi Elga tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Elga perlahan mendekat, dan segera mengambil tempat disebelah Tia. Tak ada yang bersuara selama beberapa menit. Tia terlihat seperti enggan bercerita, membuat Elga terdiam ditempatnya, memasati paras cantik gadis itu yang sekarang ini tengah berlinang dengan air mata.
“Dulu, Mama sama Papa gak kayak gitu Ga. Mereka sama sekali gak pernah naruh perhatian ke gue, dan lebih menderitanya lagi gue kayak hidup dalam bayangan kakak gue, kemana-mana gue dipandang sebagai adiknya kakak gue dan gak pernah dipandang sebagai diri gue sendiri. Lo tahu? Itu bener-bener nyiksa Ga, gue….gue gak mau dapet perlakuan gak adil kayak gitu.” Setelah beberapa lama. Akhirnya Tia meluapkan begitu saja emosinya yang selama ini dia pendam, Entah mengapa dia merasa harus membagi ceritanya ini dengan seseorang dan dia rasa Elga adalah orang yang tepat.” Gue udah nyoba, gue tetep bertahan dengan semua pandangan baik mereka tentang kakak gue, gimana mereka ngebandingin gue dengan dia, gimana dia lebih di dahuluin daripada gue, dan gimana dia ngedapetin sesuatu, yang seharusnya gue dapetin. Gue terima, gue juga bangga punya kakak kayak dia. Tapi gue gak bisa terima, kalo gue harus gantiin posisi dia. Jadi anak kesayangan Papa, Mama. Yang harus patuh sama mereka” Tia berhenti sejenak, mengusap matanya yang berair. Elga belum bisa bersuara, dia ingin gadis itu menyelesaikan dulu ceritanya baru dia akan berkomentar.
“Kakak milih buat kerja di Luar Negeri setelah dia nyelesain kuliah di sana, dan dengan tegas nolak keinginan Papa buat ngegantiin Papa, ngelanjutin perusahaan keluarga yang kata Papa sudah dia bangun dengan susah payah, dia juga nolak perjodohan antara dia dengan salah satu anak client Papa. Karena, menurut cerita dia ke gue, dia udah nemuin pendamping hidup disana, dan dia yakin dia beneran cinta sama tuh cewek. Ya, gue sih ngedukung aja, asalkan Kakak gue seneng dan bisa bahagia. Tapi gue gak tau, malam petaka malah menghantui gue. Papa jadi gak mau nganggep dia sebagai anak lagi. Dan bener-bener nganggep kalo anaknya itu Cuma gue, dan itu ngebuat apa-apa yang gue mau harus ditentuin dulu sama Papa, Lo bayangin aja. Dari sekolah, jurusan, baju, makanan, minuman, sampe temen juga harus ditentuin. Tapi, gue bisa apa coba? Gue belum bisa ngasilin uang kayak kakak gue, Andai aja gue bisa mungkin gue udah lama kabur dari rumah ini. Menurut lo, apa tindakan gue ini bener? Gue gak tahu lagi mesti gimana? Gue bingung” Tia tertunduk frustasi
Elga tertawa lirih, menerawang ke depan. Menatap hampa langit biru yang mulai mengukir pias warna senja. “Sebenarnya kalo harus jujur, kamu itu jauh lebih beruntung dibandingin aku, keluarga kamu masih utuh, nah aku?” Elga merasa miris mengingat jalan hidup yang dia harus lalui, Tia menatap Elga tak mengerti. “Sudah sekitar delapan tahunan aku gak ngelihat muka mama, setelah proses perceraian yang entahlah harus disebut seberapa menjijikannya itu terjadi. Dan Papa? yang masih bisa aku lihat, paling ada disamping aku sebulan dua kali, bahkan mungkin setahun bisa di hitung pakek jari seberapa banyak aku bisa ketemu sama dia. Dia terlalu sibuk, dan sama kayak kamu, aku bisa apa? Ngebantah? Percuma aja, aku yakin bantahan aku gak bakal didengerin. Semuanya Cuma sia-sia. Dan kamu bisa saksiin gimana suasana dirumah aku nanti, bisa dibilang jauh lebih sepi dari kuburan. Gak ada yang namanya kumpul-kumpul, malah gak akan pernah ada. Aku kesepian, ya memang. Oleh dari itu aku selalu punya kegiatan tiap harinya, entah itu ekskul, les atau sekadar main PS di rumah Bara bareng temen-temen aku yang lain. Aku selalu bermimpi bisa dapet kasih sayang kayak yang di beriin Mama kamu tadi Tia, kamu bener-bener beruntung ngedapetin Mama seperhatian dia” kata Elga bersungguh-sungguh, meyakinkan Tia lewat tatapan matanya.
“Tapi, aku gak butuh” ucap Tia terdengar tak acuh
“Aku bukan satu-satunya orang yang menderita akibat perceraian orangtua, masih banyak lagi di luar sana, yang mungkin lebih menderita dari aku dan butuh banget kasih sayang dari orangtua mereka terutama sosok dari seorang Mama.”Elga menyakinkan Tia “Kamu beruntung itu yang perlu kamu tau”
            Tia terdiam ditempatnya, apa mungkin yang dilakukannya selama ini salah? Apakah ini Cuma karena egonya saja? Tapi dia benar-benar tidak meyukai itu semua, tapi Mama memang tulus menyayanginya, jadi kenapa dia harus membenci Mamanya. Ditatapnya Elga yang sedang duduk disebelahnya. Jadi, orangtua Elga sudah bercerai? Tapi kenapa dia kelihatan setabah itu. Dan bagaimana mungkin dia bisa…… bisa tetap bertahan.
            “Aku mohon, tolong kamu temui mama kamu Tia. Minta maap sama dia, aku yakin dia bener-bener terpukul tadi. Aku bisa lihat, kasih sayangnya benar-benar tulus. Dan aku rasa kamu juga tahu itu.” Tia hanya bisa diam, dipikirkannya matang-matang tentang apa yang dikatakan Elga barusan, dan dia rasa Elga benar. Dia yang salah dan dia harus meminta maap kepada Mamanya. Elga bangkit dari tempat duduknya, mengulurkan tangan mengajak Tia untuk kembali kedalam rumah. Tia masih bimbang, ditatapnya tangan dan wajah Elga bergantian, rasa ragu itu masih belum bisa dipatahkannya. “Dengan minta maap bukan berarti sepenuhnya kamu bersalah” Elga kembali menyakinkan Tia, dengan menghembuskan nafas secara perlahan Tia menerima uluran tangan Elga dan kembali masuk kedalam rumah, menuju ke meja makan. Tia bisa melihat Mamanya sedang tertunduk lesu tanpa semangat, matanya merah dan sembab. Dengan penuh penyesalan Tia berjalan mendekat kearah Mamanya.
            “Maafin Tia Ma. Tia yang salah, Tia Cuma gak mau jadi pelampiasan atas kepergian Kakak, Tia cukup bahagia dengan perlakuan Papa dan Mama yang biasa. Dan sebenarnya Tia sayang banget sama Mama, Tia gak mau Mama ngebenci Tia. Maafin Tia Ma.” Aku Tia bersungguh-sungguh, Mamanya mendongakkan kepala menatap penuh arti putri kesayangannya dan tak ada alasan baginya untuk tidak memeluk tubuh putrinya itu. “Mama yang salah nak. Seharusnya Mama gak perlu ngebeda- bedain kamu dengan Kakak kamu. Mama sayang sama kamu nak, Mama sayang sama kalian berdua. Anak-anak kebanggaan Mama. Mulai sekarang Mama janji, Mama gak akan bersikap terlalu berlebihan ke kamu. Mama gak mau kamu juga pergi ninggalin Mama, Mama gak mau.”
            “Gak akan Ma, karena Tia sayang sama Mama.”
            Elga tersenyum tanpa henti, ditatapnya Mama Tia dan Tia bergantian. Sekarang dia semakin tahu apa arti sebuah keluarga yang utuh dan betapa sulitnya menjaga hubungan keluarga itu sendiri. Dia sangat senang, melihat Tia sudah bisa mengakui bahwa sebenarnya dia menyayangi Mamanya dan melihat Mama Tia memeluknya dengan penuh kasih sayang. Meskipun, bukan dia yang merasakannya, bukan dia yang berada diposisi Tia. Yang bisa merasakan dekapan hangat seorang Ibu. Elga masih percaya, kelak suatu hari ketika saatnya akan tiba, Mama akan datang untuknya, selalu berada disampingnya kapanpun dan dimanapun itu. Setidaknya sekarang Elga tahu, dia harus tetap hidup. Menjaga harapannya agar tetap utuh dan mewujudkannya suatu hari nanti.
*******
            Semburat warna jingga yang mengganti birunya langit sudah mulai terpancar, melengkapi selarasnya harmoni alam yang begitu indah. Udara sejuk, jauh dari hiruk pikuk keramaian, gemerisik air sungai yang berdetam perlahan, bernyanyi riang membentuk siluet ketenangan. Tanpa terasa sudah enam bulan lamanya Elga dan Tia saling mengenal, membuat mereka dekat dan sering berbagi begitu banyak cerita. Dan selama itu pula banyak hal yang telah terjadi. Membuat masing-masing dari mereka semakin tahu satu sama lain. Walaupun mereka berdua masih memendam rahasia yang masih belum siap mereka lontarkan. Tentang sebuah rasa, yang mereka tak tahu harus disebut apa.
            “Kamu tahu? Setelah penelusuran alamat Mama aku sukses, dia jadi sering banget ngunjungin aku dan sekarang Papa juga udah mulai ngurangi intens pekerjaannya, bahkan lusa kemarin mereka berdua sempat ngeliat pertandingan Anggar yang aku ikutin. Ini semua juga berkat kamu, terima kasih buat semua yang udah kamu lakuin buat aku.” Ucap Elga tulus kepada Tia. “Dan aku masih berharap, semoga mereka bisa bersatu. Lagi pula Mama masih sendiri dan Papa juga begitu.” Elga kembali berkicau riang, Tia yang diajak bicara malah tak henti-hentinya tersenyum. Dia senang melihat Elga bahagia seperti ini. Melihat senyumnya yang terus mengembang diwajah tampannya.
            “Aku ikut seneng Ga, dan harapan aku juga sama kayak kamu. Apalagi kalo itu semua bisa bikin kamu bahagia terus kayak sekarang dan apa yang udah aku lakuin gak sebanding dengan apa yang udah kamu lakuin, kamu udah bikin mata aku kebuka dan gak buta lagi karena amarah.” Tia berkata jujur dan yah, sekarang Tia tak lagi menggunakan istilah “Lo”Gue” saat berbicara dengan Elga. Entah karena apa, Tia sendiri pun masih merasa ringkuh saat menggunakan kata “Aku” “Kamu”, bukan seperti dirinya sendiri. Tapi demi Elga apa boleh buat?
            “Jangan pernah berubah” Elga berkata lirih.
            “Apa?”Tanya Tia spontan merasa pendengarannya bermasalah.Jangan pernah berubah?
            “Iya, jangan pernah berubah. Tetap kayak gini, selalu ada disamping aku sampai kapanpun itu. Karena aku gak akan ngebiarin apapun ngerubah kamu. Membuat kamu berpaling dari aku. Melihat kesisi lain dan memperjuangkan rasa yang lain” Elga menatap mata Tia dalam, dan membuat wajah gadis itu mulai merah padam.
            “Maksud kamu apa Ga?” Tanya Tia semakin bingung menepis tatapan Elga dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, Elga diam, dia malah beranjak pergi meninggalkan Tia. Tia segera bangkit dan mengikuti Elga. Masuk kedalam mobilnya.
            “Kamu udah tahu maksud aku apa, karena aku tahu, kamu juga punya rasa yang sama” Mata Elga berbinar. Dia tersenyum tak seperti biasanya. Tanpa Tia sadari dia menghela nafas lega. Dia tidak tahu apa yang menguasainya saat ini. Yang dia tahu dia bahagia. Tentang semua hal yang telah terjadi selama enam bulan ini dan tentang apa yang barusan Elga akui.
            Elga mengambil satu buket bunga mawar putih dari jok belakang dan menyodorkan buket itu kearah Tia “Aku sayang kamu” Elga berbisik pelan, membuat pipi Tia merona. Tia tak kuasa menahan senyum, jantungnya membentuk irama yang tak karuan. Dengan keberanian besar dia berusaha menyuarakan enam kata itu, matanya tak lepas dari mata Elga, Elga sang atlit Anggar yang terkenal cuek dan datar baru saja mengatakan perasaan kepadanya, Tia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya dia berseru riang, karena ternyata rasanya tidak bertepuk sebelah tangan.
 “Aku juga sayang sama kamu Ga” Tia akhirnya mengucapkan kata-kata itu, Elga membalas senyuman Tia, “Aku janji akan ngebuat hidup kamu bahagia” ucap Elga bersungguh-sungguh, yang kemudian mengambil tangan Tia dan meletakkan didadanya. “Mulai sekarang kamu resmi jadi pacar aku. Jadi, jangan pernah nyoba-nyoba buat selingkuh. Kalo enggak…..”
“Kalo enggak apa?”
“Aku bakalan maksa kamu bilang IYA” Teriak Elga di telinga Tia, Tia cemberut ditempatnya, Elga kembali menggoda gadis itu. Sampai gadis itu tersenyum lagi untuknya. “Aku gak akan pernah ngebiarin senyum kamu pudar. Aku janji itu.” Bisiknya pelan. 

Tuesday, October 22, 2013

EVERYTHING HAS CHANGED

Ketika aku mengetahui segalanya, aku sadar selama ini ternyata engkaulah orangnya. Yang bersembunyi di balik tembok transparan yang sulit untuk dapat kulihat dengan jelas. Maafkan aku, semua ini salahku. Karena kebutaanku, rasa yang kau miliki tidak pernah dapat kau ungkapkan. Tapi, sekarang aku sudah tahu. Aku sudah tahu tentang segala rasamu itu, yang tidak perlu lagi untuk kau tutupi. Jadi kembalilah, karena aku sudah berdiri disini, siap untuk mengakui bahwa aku..... juga mencintaimu.

***

Untuk kelima kalinya ponselku berdering tanpa ampun. Aku menghelakan nafas panjang, menyerah menghadapi suara nyaringnya. Jadi, segera kujejalkan tanganku kedalam tas dan menjangkau benda menjengkelkan itu, lalu menempelkannya di telingaku.

        “Halo” kataku tanpa minat sedikit pun. Aku memang sedang membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk menenangkan pikiranku. Aku sedang tidak ingin diganggu. Orang ini benar-benar menelepon disaat yang tidak tepat, sangat tidak tepat.

       “Halo Taylor” aku mengerutkan alis, mengenali suaranya. Kulepas ponselku dari telinga dan menatap nama yang tertera di layar sejenak, membaca nama yang tertera disana. Taylor Daniel Lautner. Nama itu dapat kubaca dengan jelas. Ternyata benar dia. Dia adalah sahabat baikku, yang sudah aku kenal selama tiga belas tahun lebih. Dan dia adalah salah satu orang yang tidak pernah mengecewakanku. Tidak seperti laki-laki itu. “Apa yang terjadi? kenapa nada suaramu terdengar..... menyedihkan?” katanya cemas.

          “Aku tidak apa-apa, jangan khawatir” kataku menyakinkan

        “Kau serius? Apa perlu aku kesana? Kau ada dimana sekarang?” katanya lembut, dan jujur dengan mendengar nada suaranya yang seperti itu perasaanku menjadi tenang.

        “Iya percayalah. Aku benar-benar tidak apa-apa. Lagipula, bukankah kau sedang ada urusan yang harus kau kerjakan?” tanyaku dengan nada lemah kepadanya.

        Dia bergumam pelan. “Baiklah. Tapi, jika kau membutuhkanku kau harus meneleponku. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kau dapat melakukannya bukan?”

        “Iya. Kau dapat mempercayaiku” aku menjawabnya tanpa semangat, kemudian menutup pembicaraan dan mematikan telepon darinya. Aku terdiam sejenak, sambil memegangi dadaku yang masih terasa sesak, kuatur kembali nafasku yang sudah tidak beraturan dan kutuntun langkahku yang sudah mulai goyah. Aku tidak menyangka rasanya masih sesakit ini. Begitu sakit, sampai-sampai aku tidak dapat lagi merasakan apapun.

       Kuhentikan langkahku dan mulai mencari tempat untuk menenangkan diri, jadi kuputuskan untuk duduk disalah satu bangku yang ada di trotoar jalan ini. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, kubenamkan kepalaku dalam-dalam. Rasanya aku ingin sekali menangis, tapi entah kenapa air mataku seolah menentangku untuk melakukannya. Padahal rasa ini benar-benar menyiksa, tidak... tetapi sangat menyiksa.

       Aku tidak menyangka dia bisa melakukannya. Mempermainkanku dan menyeretku dalam permainan rasa yang dia buat. Padahal aku sangat mempercayainya dan ternyata dia mengkhianatiku, aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa dia bisa setega itu. Dia dengan mata hijaunya yang selalu aku kagumi dan semua kata cintanya, ternyata hanyalah sesuatu yang semu, dan tidak lebih dari sebongkah kebohongan yang seharusnya tidak pernah aku percaya.

“Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Taylor Jake?” Suara itu segera menggema ketika aku masuk ke dalam gedung ini. Gedung yang sama, seperti yang tertulis di atas kertas yang sedang kupegang. Membuatku segera mengambil tempat untuk bersembunyi, agar mereka tidak mengetahui kedatanganku. Dan tentu saja, aku bisa mengenali suara itu, itu pasti Grace. Ada apa ini? kenapa mereka membicarakan tentangku?

“Tenang Grace, aku sudah melakukannya dengan sangat rapi. Dan sepertinya, dia  juga sudah sangat mencintaiku. Bukan masalah besar, jika hanya untuk menaklukkan gadis seperti dia” Aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar, terlebih lagi dengan orang yang barusan mengatakannya. Dia Jake, pacarku. Laki-laki yang sudah selama enam bulan terakhir kucintai dengan setulus hati. Tetapi, apa maksud perkataannya? Melakukannya dengan sangat rapi?

Grace bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke arah Jake lalu memeluknya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat sekarang. Jake dan Grace, ternyata mereka....“Aku mencintaimu Jake” Grace menatap Jake penuh arti “Rasanya sungguh sangat melegakan, akhirnya aku bisa membalasnya, membalaskan rasa sakit hatiku” Grace melepas pelukannya dan kembali duduk disalah satu bangku “Kau tahu Jake, rasanya itu benar-benar menyakitkan” dia menundukkan wajahnya, seperti sedang mengenang sesuatu.

Jake mengambil tempat disebelah kanan Grace dan membelai rambutnya penuh kasih sayang “Aku tidak akan pernah membiarkanmu merasakan rasa sakit itu lagi Grace. Aku sangat mencintaimu, dan apapun yang kau inginkan aku bersedia melakukannya, termaksud membalaskan rasa sakit hatimu kepada Taylor” dia meletakkan kepala Grace ke pundak kirinya “Karena aku benar-benar  tidak sanggup jika harus menyaksikan kembali tangismu, seperti waktu-waktu yang lalu. Aku akan mengutuk diriku sendiri jika itu sampai terjadi lagi. Karena aku memang benar-benar mencintaimu Grace. Percayalah” Ku tutup mulutku dengan kedua tangan. Jadi, ternyata selama ini Jake hanya mempermainkanku dan dia tidak benar-benar mencintaiku, aku tidak bisa mempercayai apa yang sudah aku dengar. Tubuhku lemas seketika, aku benar-benar tidak sanggup menyaksikan semuanya. Tetapi, aku tidak bisa hanya diam saja disini. Aku harus menemui mereka dan meminta penjelasan dari mereka. Ya, aku harus melakukannya.

“Jake!” aku sedikit berteriak dan Jake segera menoleh ke arahku, menatapku salah tingkah, mirip seperti seorang pencuri yang tertangkap tangan sedang menjual barang hasil curiannya. Kuberanikan langkahku mendekati mereka, menatap segurat wajah yang dulu sempat sangat ku cintai, tubuhku sedikit bergetar. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melakukannya. Aku benar-benar tidak tahu.

“Taylor, sedang apa kau disini?” kata Jake sangat terkejud melihat kedatanganku “Kenapa kau tidak bilang bahwa kau ingin datang kesini?” dia memasang senyum seperti biasa. Seolah-olah dia tidak pernah melakukan sesuatu kepadaku.

Kutatap Jake dan Grace bergantian “Seharusnya aku yang bertanya” Kataku dengan tegas “Apa yang sedang kalian lakukan disini? Dan apa yang sedang kalian bicarakan?” Jake menunduk, tidak berani menatapku. Tetapi Grace, entahlah ekspresi yang ditunjukannya mengambarkan bahwa dia seperti melihat musuh lamanya datang menemuinya. “Aku sudah mendengar semuanya” Kata-kataku sedikit bergetar “Sekarang, aku butuh penjelasan darimu Jake, juga kau Grace” Kataku dengan mantap. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus kuat.

Jake mulai mengangkat wajahnya dan kembali menatapku dengan mata hijaunya “Taylor ini tidak seperti yang........”

“Ya, yang kau dengar itu memang benar” Potong Grace sebelum Jake sempat memberikan penjelasan. Pandanganku segera beralih ke arahnya, menatapnya tak percaya “Aku yang telah menyuruh Jake untuk melakukan semua itu, dan tentu saja Jake bersedia melakukannya, karena dia mencintaiku” dia mengamit lengan Jake sambil tertawa mengejek ke arahku “Tidak, mungkin aku salah. Dia tidak hanya mencintaiku. Tetapi, SANGAT MENCINTAIKU!” sambungnya cepat dengan penekanan pada dua kata terakhir

Grace menatap lurus ke dalam mataku. Aku kalah, itulah yang dapat kulihat. Dia seakan menyorakan kemenangannya di dalam kepalaku. Dia telah berhasil, berhasil membuatku merasakan sakit yang teramat sakit.

“Jadi, bagaimana Taylor? Bagaimana rasanya?” aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan “Kau bisa merasakan bagaimana sakitnya bukan? Disaat kau tahu seseorang yang kau cintai ternyata mencintai orang lain. Dan itulah yang aku rasakan, selama bertahun-tahun yang lalu. Dan semua itu karena kau. Kau penyebab kenapa aku bisa merasakan rasa sakit itu. Kau!” Grace seakan meluapkan semua amarah yang dia simpan selama ini kepadaku.

Kukepalkan jari-jari tanganku. Aku siap menangis, tapi air mata itu tidak juga keluar “Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan Grace” kataku jujur dengan nada yang meninggi.

Dia tertawa dengan lantang. “Taylor, Taylor” katanya sambil menggelengkan kepala. “Tentu, tentu saja kau tidak mengerti. Karena kau adalah gadis bodoh. Kau terlalu buta Taylor, dan itulah kebodohanmu” Grace mulai murka. Jake memegang pundaknya, mencoba menenagkan “Sudahlah Grace, kau sudah membalasnya” bisik Jake ke telinga Grace dan dapat dengan jelas aku dengar “Lebih baik kita pergi sekarang”  sambung Jake kemudian, lalu mengambil tangan Grace dan mengajaknya pergi. Mereka mulai berjalan menjauh dan aku mendapati diriku masih tetap berada di tempatku. Sambil menghitung tiap langkah yang mereka buat. Dan, di hitungan ke tiga belas Jake memutar badannya ke arahku. Membiarkan Grace mandahuluinya “Taylor” katanya samar-samar “Maafkan aku” aku bisa mendengar nada penyesalan yang teramat mendalam dari nada suaranya.

       Kejadian tadi, tanpa henti kembali berputar di dalam kepalaku. Aku juga sudah tidak tahu lagi apa yang dapat kurasakan sekarang. Marah, sedih, sakit, semuanya seakan membaur menjadi satu rasa yang sama. Kutatap kertas yang tadi menuntunku untuk datang menemui mereka. Aku tersenyum sejenak,  seakan mensyukuri karena aku telah mengetahui kebenarannya. Dan setidaknya sekarang aku tahu, aku tidak harus terjerat lagi dalam permainan mereka. Permainan rasa yang sangat menyakitkan ini.

       Aku menghela nafas berat “Baiklah Taylor, mungkin semua ini adalah yang terbaik untukmu. Kau harus bisa menghadapinya” Kataku kepada diri sendiri, mencoba kembali bangkit dan mulai menuntun langkah untuk kembali ke rumah. Aku rasa aku benar-benar harus beristirahat, mengistirahatkan tubuh, otak dan hatiku yang sekarang keadaanya sudah sangat tidak jelas. Kuambil tas tanganku yang kuletakkan disamping bangku tempat aku duduk sekarang dan memperhatikan orang-orang yang sedang mengendarai kendaraannya di jalanan sore ini, sambil terus mencoba menenangkan diri. Tidak seperti biasanya, sore ini terlihat begitu banyak pengendara motor yang berlalu-lalang. Dan tunggu, aku seperti mengenali salah satu dari pengendara motor itu. Aku mengerjapkan mata satu kali, dua kali dan tiga kali. Benar, aku tidak salah ini memang benar-benar dia. Apa yang sedang dilakukannya disini? Dan bukankah ini jalan menuju... Jangan-jangan dia, aku harus mengikutinya.

Taylor Lautner POV

Aku sudah tahu dia telah mengetahuinya, tentang Grace dan Jake yang bekerja sama untuk mempermainkanya. Aku bisa mengetahui itu semua dari nada suaranya saat aku meneleponnya tadi, dia terdengar sedih. Yah kurasa bukan hanya sedih, tetapi sangat sedih. Dan seperti biasa lagi-lagi aku telah gagal, gagal melindunginya dari rasa sakit akibat orang-orang yang dicintainya. Tapi setidaknya sekarang dia sudah mengetahui tentang kenyataan itu, dan aku tahu dia adalah gadis yang kuat. Dia bisa menghadapi semua ini dengan baik, aku tahu itu karena aku sangat mengenalnya. Tidak, mungkin aku salah. Aku tidak terlalu mengenalnya, aku tidak pernah mengenal hatinya dan mengerti dia dengan baik. Namun, walaupun begitu aku selalu mencoba memberikan segala yang dia butuhkan, berada di sampingnya dan melakukan apapun yang diinginkannya. Karena aku begitu mencintainya. Gadis itu, Taylor Alison Swift.

       Gadis yang mampu membuatku jatuh hati sejak patah hatiku yang pertama, dan entah sejak kapan aku telah membuka pintu hatiku untuknya, membiarkan dia masuk, dan tumbuh semakin dalam. Aku juga tidak menyesal karena sudah meletakkan alamat dimana Grace dan Jake bertemu tadi, aku tahu ini akan sangat menyakitkan untuknya, tapi ini semua lebih baik daripada dia harus terus-menerus dibohongi oleh mereka. Aku tahu ini semua salahku, seharusnya dia tidak pernah terlibat dalam masalah ini dan menjadi bahan permainan Grace dan Jake. Seharusnya, sejak awal dia mendengarkanku. Tapi, perasaan telah mengambil alih dirinya pada saat itu dan peringatanku benar-benar tidak dihiraukannya. Dia memang mudah untuk jatuh hati kepada seseorang, mudah untuk patah hati dan mudah juga untuk kembali bangkit, tetapi tidak untukku. Dia seperti memberikan pengecualian kepadaku, dan kurasa rasa yang kumiliki akan selamanya hanya tetap menjadi milikku, tanpa dimiliki juga olehnya. Namun, aku tidak akan pernah menyesal dan sampai kapanpun dia akan tetap menjadi dirinya dimataku, dirinya yang kukenal, yang sudah sejak lama menjadi sahabat baikku dan sangat kucintai.

       Tanpa terasa, ternyata aku sudah sampai ditempat ini. Taylor Swift’s Studio. Hadiahku untuknya ketika dia genap berusia 22 tahun, pada desember lalu. Sayangnya, dia tidak mengetahui bahwa hadiah ini adalah dariku. Dan aku memang sengaja melakukannya. Karena aku tidak ingin dia berpikiran bahwa ada niat terselubung di balik hadiah yang kuberikan untuknya. Aku juga sudah merasa sangat bahagia ketika aku melihat ekspresinya saat melihat tempat ini, untuk pertama kalinya. 

“Oh Ya Tuhan, Aku bersumpah, tempat ini benar-benar indah!” katanya dengan wajah takjub ketika kami sudah berada di dalam studio. Dia memeriksa semua peralatan yang ada dan mulai menghampiriku dengan senyum yang masih terus mengembang, tanpa henti.

“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa Taylor. Ini benar-benar menakjubkan, sangat menakjubkan. Siapapun dia, aku harus berterima kasih kepadanya. Karena dia sudah mewujudkan salah satu mimpiku. Memiliki sebuah studio” Katanya kemudian dengan mata berkaca-kaca.

“Apa kau menyukainya?” dia bertanya kepadaku dan sudah tidak sabar menunggu reaksi yang akan aku berikan.

Dan tentu saja aku menyukai studio ini, karena setiap bagian dari studio ini adalah dirinya sendiri. Tidak ada satu pun unsur di dalam studio ini yang tidak berhubungan dengan dirinya. Terlebih lagi aku membuatnya dengan penuh perasaan, dengan rasa tulusku, rasa tulusku untuknya.

“Tidak ada alasan untuk tidak menyukai studio ini bukan?” kataku lalu memamerkan gigi-gigi rapiku. Dia segera mengamit lenganku dan ikut tersenyum, masih dengan rasa takjubnya “Ya, kau memang benar, tidak ada satu pun alasan !” katanya singkat.

       Aku tersenyum mengingat kejadian manis itu. Sejak saat itu setiap hari kami datang ketempat ini, bersama. Kami telah menghabiskan banyak waktu disini, dan aku selalu bisa melihatnya, memainkan setiap alat musik dan jari-jarinya diatas kertas, sambil terus menulis sebuah lagu. Dia memang begitu mencintai musik seperti dia mencintai hidupnya. Musik seakan menjadi bagian dari dirinya. Karena baginya orang-orang mungkin tidak akan selalu berada di sampingnya tetapi dia yakin musik akan selalu ada disampingnya sampai kapanpun juga. Dan karena dia jugalah aku dapat belajar banyak hal dan mulai perlahan menyukai musik. Walaupun pada awalnya aku sudah merasa gagal, karena aku sama sekali buta akan musik dan membaca not-not balok itu dapat membuat kepalaku serasa mau pecah. Tapi, sekarang semua itu bukan masalah lagi buatku karena aku sudah sangat terbiasa memainkan berbagai nada dengan jari-jariku ini, yang sudah sangat sering menjadi korban ambisiku, hingga harus terluka dan berdarah. Tetapi percayalah luka di jariku bukanlah hal yang besar, jika dibandingkan dengan rasa bangga yang akan dia tunjukkan kepadaku ketika dia tahu, aku juga bisa memainkan berbagai alat musik, sama seperti dirinya.

       Setelah memarkirkan motorku, aku segera masuk kedalam studio. Dari langkah pertama saja, aroma dari studio ini sudah menerjang masuk ke dalam hidungku, yang masih tetap sama seperti saat terakhir aku datang kesini. Kulangkahkan kakiku menuju bagian tengah dari studio ini, tempat piano itu berada.

       “Kau tahu Taylor?” kataku memandang sekeliling “Studio ini adalah milik kita berdua, kau dan aku. Aku juga sangat senang, karena sudah mewujudkan salah satu mimpi indahmu” kataku kemudian. Kupandangi lekat-lekat piano yang ada di depanku, dan entah kenapa aku ingin sekali memainkannya hari ini. Jadi, tanpa pikir panjang aku segera duduk dan meletakkan  kesepuluh jari-jariku di atas tuts piano, ku hirup nafas sejenak dan kemudian mulai memainkan nada-nada seperti yang tertera di atas buku nada balok yang ada di hadapanku, dan dengan perlahan mulai membuatku larut bersama alunannya.

 TAYLOR SWIFT POV

Rasa heran membuatku mengikutinya dan ternyata dugaanku memang benar. Dia sengaja datang ke studio ini, ke studio milikku. Ya, studio ini adalah hadiah ulang tahunku yang ke 22 dari seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa. Tetapi, yang jelas aku sangat berterima kasih kepadanya. Karena memang sudah sejak lama aku mengimpikan memiliki studio pribadi dan seseorang itu yang siapapun dia sudah berhasil mewujudkannya. Dan entahlah, apa yang tiba-tiba membawanya datang kemari, padahal tadi pagi dia mengatakan bahwa ada hal penting yang harus dia lakukan. Tetapi, kenapa sekarang dia malah ada disini? Sangat mencurigakan. Kuperhatikan dia dengan begitu lekat, yang membuat jantungku berdebar dengan tempo yang tidak beraturan. Sejak dulu, aku memang selalu merasakan debaraan aneh setiap melihatnya. Aku tidak tahu debaran itu menandakan apa, tetapi yang jelas aku sangat menikmatinya. Dan aku rasa debaran itu hanyalah perasaan biasa, karena jujur setiap melihatnya dan berada didekatnya aku merasa begitu nyaman. Dia begitu menenangkan, terlebih lagi dengan mata cokelatnya yang teduh dan segala perhatian yang dia berikan kepadaku. Aku menyukainya, menyukai caranya memperlakukanku. Dia adalah sahabat terbaik sejauh yang aku tahu. Dia, Taylor Daniel Lautner.

       Seperti biasa dia berjalan dengan langkahnya yang pasti. Kuamati dia sejenak. Dia terlihat sedang menuju ke arah tengah studio, tempat piano itu berada. Dia tersenyum lalu seperti mengatakan sesuatu dan aku tidak tahu apa itu, karena aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Matanya menatap sekeliling studio dan kesempatan itu membuatku segera mengambil tempat yang jauh lebih dekat dengannya untuk dapat mendengar dengan jelas apa yang dia katakan.

      “Studio ini adalah milik kita berdua, kau dan aku. Aku juga sangat senang, karena sudah mewujudkan salah satu mimpi indahmu” Dia memperhatikan piano itu sejenak, kemudian duduk dan meletakkan kesepuluh jarinya diatas tuts piano. Sebuah alunan nada mulai terdengar, aku tidak dapat mempercayai ini. Dengan apa yang ada di depan mata kepalaku saat ini, juga dengan pendengaranku beberapa saat yang lalu. Sejak kapan dia bisa bermain musik? Dan kenapa dia tidak jujur saja ketika aku dan dia datang ke studio ini untuk pertama kalinya? Kenapa dia tidak bilang bahwa ini adalah hadiah darinya? Kenapa dia menyembunyikan ini semua?. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya, tapi nada-nada itu mampu membuatku melupakan seluruh pertanyaan itu. Sungguh, nada-nada ini benar-benar indah. Dan tanpa kupinta tubuhku membawaku berjalan mendekat kearahnya. Dia segera menghentikan permainannya, menyadari kedatanganku. Lalu dia  mendongakkan kepala, menatapku dengan eksperesi yang entahlah seperti apa harus kugambar.

       “Kenapa kau tidak jujur kepadaku?” Itulah pertanyaan pertama yang berhasil keluar dari mulutku.

       Dia menatapku dalam, dan kali ini tatapan yang dia berikan bukan tatapan seperti biasa. Tatapannya mampu membuatku merasa tenang, mata cokelatnya terasa begitu teduh dan aku merasakan debaran aneh itu lagi “Maaf” hanya itu yang dia katakan dan beberapa saat kemudian kami hanya saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing “Aku hanya ingin melihat kau bahagia, dengan caraku. Dan aku tidak ingin kau...” dia menggantungkan kalimatnya “kau menganggap aku memiliki maksud lain. Dan aku takut jika akhirnya kau akan......menjauh dariku”

       “Astaga Taylor, kenapa kau berpikiran seperti itu? Mana mungkin aku menganggapmu memiliki maksud lain. Bahkan sebaliknya, aku akan sangat merasa bahagia. Karena ternyata orang itu adalah dirimu. Kau Taylor. Sahabatku” Kataku sambil memegang atas pundaknya. Dan entah kenapa, tapi tadi aku menangkap perubahan ekspresi wajahnya ketika aku menyebutkan kata “Sahabatku”, dia seakan....Entahlah aku tidak sanggup memikirkannya.

       Tanpa kuduga dia mengambil tanganku dan membawaku ke sudut ruangan “Aku rasa ini sudah saatnya” Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan, dia pun membuka pintu lemari yang ada di sudut ruangan ini dan menunjukkan isi lemari itu kepadaku. Aku terdiam, menyaksikan setiap barang yang tersusun rapi di dalam lemari itu. Sekarang aku sudah tahu, dan aku juga mengerti tentang apa yang dibicarakan Grace. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang dia menunjukkan ini semua kepadaku? Dan ada apa dengan jantungku, kenapa jantungku seakan berhenti berdetak? Aku menatapnya bingung, menunggu penjelasan darinya. Dan bersikap setenang mungkin.

TAYLOR LAUTNER POV

Dia sudah berada disini sekarang, tepat disampingku. Jadi, kurasa tidak ada lagi yang harus kusembunyikan darinya. Aku akan mengakhirinya sekarang juga. Mengatakan perasaanku kepadanya. Dan sekarang dia sudah melihat isi lemari ini. Melihat setiap memori antara aku dan dia yang tersimpan disana. Kuambil salah satu benda yang ada di lemari itu. Saputangan. Dia menatapku dan saputangan itu secara bergantian dengan heran, siap menunggu penjelasan.

       “Sejak saat itu, perasaanku sudah mulai berubah” Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi, dan dari raut wajahnya sepertinya dia sedang membuka ingatannya. Tentang aku, dia, saputangan ini dan patah hatiku yang pertama. Saat itu aku berusia 9 tahun, dan aku benar-benar merasa sedih karena ternyata gadis yang kusuka lebih memilih Sam, musuhku. Yang membuatku menangis tiada henti, dan dia datang menghampiriku, menghapus air mataku dengan saputangan ini lalu pergi menemui Sam dan gadis itu, memarahi mereka habis-habisan. Dan pada saat itu, dari pagi hingga malam sampai besoknya datang dia tidak beranjak dari sampingku. Dia terus menemaniku. Dan mulai sejak saat itulah aku mulai menatapnya dengan cara yang berbeda.

       “Apa...Apa lagi yang kau sembunyikan dariku?” Tanyanya dengan sedikit gugup.

       Dia menatapku tak percaya. Dan aku kembali melanjutkan kalimatku “Aku hanya butuh waktu, aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun darimu. Dan kau tahu?” aku berhenti sejenak “Diam-diam aku mempelajari semua alat musik, dan itu semua hanya untukmu” kataku kepadanya, jantungku semakin berdetak dengan cepat “Aku bahkan tidak mempedulikan tanganku yang berdarah, karena sepanjang malam aku hanya memetik gitar” Kutatap ujung-ujung jari tangan kiriku yang masih meninggalkan bekas luka, lalu tertawa merasa apa yang telah aku lakukan adalah hal yang konyol “Tapi kau tahu? Ketika aku mengingat wajahmu, saat kau berantusias mendengarkan ayahmu memainkan gitar untukmu. Semangatku seperti muncul kembali. Dan aku terus bertekad, suatu hari nanti kau juga harus seantusias itu ketika kau akan mendengarkanku memainkan gitar untukmu” dia terus menatapku dengan raut wajah tak percaya.

       Dia ingin membuka mulutnya, tetapi aku dengan cepat segera menyambung kalimatku lagi “Dan studio ini” mataku berkeliling menatap sekitar dan dia juga melakukan hal yang sama “Aku ingat, saat itu kau berusia 16 tahun dan kau mengatakan bahwa kau ingin sekali memiliki studio pribadi. Dan sejak 6 tahun yang lalu itu juga menjadi mimpiku, jadi aku mulai menabung dan berharap suatu saat nanti mimpiku dan juga mimpimu bisa terwujud. Dan kau lihat, inilah hasilnya. Studio pribadi dengan namamu sendiri. Aku masih ingat ekspresimu malam itu, kau sangat takjub melihatnya. Dan jujur, itu sangat membuatku bahagia” entah apalagi yang harus kujelaskan kepadanya.

       “Dan tentang Grace” aku menghentikan kalimatku, melihat ekspresi wajahnya yang berubah sedih “Aku harus meminta maaf kepadamu, karena ini semua salahku. Maafkan aku Taylor, maafkan aku. Jika saja Grace tidak pernah menyukaiku dan aku tidak pernah menolaknya, mungkin kau takkan pernah menjadi bahan permainannya” kataku kemudian. Kudapati dia sedang menunduk, menatap kedua kaki jenjangya. Aku tahu aku telah salah bicara. Seharusnya, aku tidak perlu mengingatkannya tentang Grace. Karena aku tahu, dia pasti masih sangat sakit hati sekarang. Aku menunggu beberapa menit dan dia masih tetap diam ditempatnya. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku benar-benar bingung sekarang, seharusnya aku tidak mengatakan apapun tentang Grace tadi. Aku telah merusak segalanya. “Kau benar-benar bodoh” aku megutuk diriku sendiri dalam hati.

 TAYLOR SWIFT POV

Mungkin memang benar, banyak hal yang tidak pernah kau duga akan terjadi di hidupmu, dan itulah yang sekarang terjadi di hidupku. Hari ini terasa begitu ajaib, tadi pagi ketika aku bangun dari tidur, aku hanya merasa aku akan menjalani hariku seperti bisa. Namun ternyata, ada banyak kejutan yang kudapatkan hari ini. Aku masih belum bersuara, dan dia juga. Dia terus menatapku dan aku sama sekali tidak sanggup menatapnya. Grace benar, aku memang bodoh, kenapa aku bisa tidak tahu bahwa dia menyukaiku? Dan andai saja dia tahu bahwa aku...

       “Maafkan aku Taylor, aku tidak bermaksud membuatmu begini. Maafkan aku Taylor, maaf” katanya yang dengan segera membuyarkan lamunanku “Aku rasa, aku harus memberimu waktu untuk menenangkan diri. Jika kau mau, aku akan pergi sekarang” katanya dengan nada lemah, masih menungguku bersuara “Baiklah. Sampai jumpa Taylor” Katanya pada akhirnya, dia pun mulai pergi menjauh dan yang benar saja kenapa tiba-tiba aku ingin menangis. Hatiku seakan berkata, dia harus kembali, kembali disini. Bersamaku. Dan air mata itu jatuh begitu saja, rasanya sakit. Sakit karena aku baru mengetahui segala pengorbanan yang telah dia lakukan, untukku. Sekarang aku tahu, debaran yang kurasakan selama ini bukanlah debaran biasa. Itu semua karena aku menyukainya. Aku menyukainya, sahabatku sendiri. Ya, dia. Aku menyukainya.

       “Kembali” kataku mantap, dia berhenti “Kau belum mengatakannya” aku mencoba untuk menahan air mataku yang tetap memaksa untuk keluar “Aku ingin mendengarnya, Kembalilah” kataku lagi, dia berbalik dan berlari ke arahku. Dia berhenti tepat didepanku. Di tatapnya mataku lekat-lekat. Kurasakan jantungku seakan berhenti ketika dia menatapku.

       “Jadi kau, jangan katakan bahwa kau juga...”

       “Aku hanya ingin mendengar kau mengatakannya. Dan kenapa kau tidak melakukannya dari dulu? Kenapa? Beri tahu aku kenapa !”

       Dia menarikku dalam pelukannya, begitu dalam dan hangat “Karena aku takut kau akan menjauh dan membenciku”

       “Dasar bodoh” kupukuli dada bidangnya “Aku tidak mungkin melakukannya. Aku tidak bisa membencimu. Aku tidak bisa” Kurasakan air mataku terus mengalir.

       Dia melepaskan pelukannya, memegang daguku dengan tangannya yang kokoh dan mengatakan “Aku mencintaimu Taylor” kata-kata yang sekarang ini sangat ingin aku dengar.

       Kutatap matanya dalam “Dan, aku juga... aku juga mencintaimu...”aku berhenti sejenak “Taylor” lanjutku kemudian, kami pun tertawa menyadari satu hal aneh bahwa kami memang memiliki nama depan yang sama yaitu “Taylor”. Aku juga merasa seperti mengatakan perasaan kepada diri sendiri ketika aku menyebutkan namanya tadi.

       Dia memegang pipiku dan menghapus air mataku yang jatuh. “Kau adalah bagian dari diriku, Taylor yang lain” katanya kemudian, dan kembali memelukku dengan erat, lalu mencium keningku “Aku sangat mencintaimu” sambungnya. Aku mempererat pelukanku, sambil mengangguk, mengerti seberapa besar dia mencintaiku.

       Diapun mulai menceritakan segala hal, tentang dia dan perasaannya. Berbagai tindakan bodoh yang sudah dilakukannya untukku. Dan bagaimana gugupnya dia, disaat-saat dia mengatakan perasaannya kepadaku tadi. Terlalu banyak tawa yang tercipta, hingga akhirnya dia mengajakku memainkan gitar bersama. Harus kuakui ini adalah kali pertamaku mendengarnya memainkan gitar. Dia menakjubkan, itulah yang dapat aku lihat. Dan malam ini satu hal yang dapat aku mengerti dengan jelas “Segalanya Sudah Berubah” dia bukan lagi hanya seorang sahabat bagiku tetapi lebih dari itu. Sekarang sahabatku sudah menjadi pacarku.

***

Kemarin, aku baru saja merasakan bagaimana rasanya disakiti. Dan kemarin juga aku merasakan bagaimana rasanya sangat disayangi. Kejadian yang bertolak belakang yang terjadi dalam satu waktu. Dengan sebuah nama sederhana, yang sudah merubah segalanya. Yang membuatku dapat merasakan indahnya mencintai dan dicintai. Aku juga tidak dapat membiarkanya pergi, menghilang bersama rasa yang dia miliki. Karena aku tidak tahu, apa jadinya aku tanpa dia disampingku.

       Dan disiniilah aku sekarang, di Quirdanian park. Aku sudah bisa melihatnya dari kejauhan. Hari ini akan menjadi kencanku yang pertama bersamanya. Terlihat jelas hari ini pakaiannya didominasi oleh warna abu-abu. Dia terlihat begitu segar dan tampan. Aku mengelengkan kepalaku, tertawa dalam diam, tidak habis pikir dengan apa yang sedang dilakukannya. Ada sebuah boneka beruang besar di tangan kanannya saat ini, yang aku rasa sudah sejak tadi menarik mata semua orang untuk menatapnya dengan aneh, tetapi dia tetap berjalan dengan tenang dan menunjukkan senyum manisnya tanpa henti, bahkan dia sekarang sedang melambaikan tangannya ke arahku. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan itulah dia, selalu menjadi dirinya sendiri dengan apa adanya. Terlebih, sekarang dia sudah tidak terlalu mempermasalahkan pandangan orang lain terhadap dirinya lagi, jauh lebih tepat waktu, semakin pengertian dan aku tidak tahu lagi sudah sebaik mana harus kukatakan dia sekarang. Dia sudah sangat sempurna dimataku. Dialah Taylorku. Bagian dari diriku yang lain. Taylor Daniel Lautner. Sahabatku juga pacarku.

       “Halo, sudah lama?” sapanya dengan sangat hangat dan mengambil tempat disebelah kiriku.

       “Kurasa... tidak” aku tersenyum kepadanya “Dan apa ini?” kuambil boneka beruang besar itu dari tangannya.

       “Hadiah untukmu, karena kau sekarang sudah menjadi........milikku” Dia berbisik ditelinga kiriku lalu tersenyum jahil “Oh ya” katanya lagi dan kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah kotak berwarna merah muda “Maukah kau membukakannya untukku Ny. Swift?”

       Mulutku terbuka, sambil menatap kotak merah muda yang berada ditangannya sekarang. Mungkin dia memang berlebihan tetapi jujur aku sangat menyukainya, menyukai segala perlakuan manisnya terhadapku. “Dengan senang hati Tn. Lautner” kataku dengan nada candaan. Kuterima kotak merah muda itu dari tangannya dan mulai membukanya. Mataku melebar, melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Yang benar saja isi kotak itu adalah sebuah kaos dengan angka 13 dibelakangnya. Angka kesukaanku. Dia memang benar-benar tahu apa yang aku suka. “Terima Kasih” kataku tulus kepadanya dan terus menatapnya.

       Dia bergumam pelan “Dan bukan hanya kau yang memilikinya, tetapi....” dia mengantungkan kalimatnya sambil membuang muka “Aku juga. Lihat ini” tiba-tiba saja dia mengeluarkan kaos yang sama denganku, tetapi dengan model tangan yang berbeda dari balik jaketnya. Aku sudah tidak tahu harus mengatakan apalagi. Dia sudah memiliki segala hal yang aku  butuhkan. Aku masih merasa semua yang terjadi sejak delapan belas jam yang lalu adalah seperti mimpi, tapi ini semua terlalu nyata. Dan aku baru menyadarinya, bahwa ini semua benar-benar terjadi dihidupku. Dan hanya satu hal yang aku tahu, sekarang aku sudah menjadi miliknya dan dia sudah menjadi milikku. Aku benar-benar merasa sangat bahagia. Bersama dengannya, memilikinya. Disini, disampingku.

       “Kau tahu? Sangat sulit mendapatkan kaos ini” Dia mengangkat kaos yang sedang dia pegang “Tetapi, karena ini semua demi dirimu....” dia terlihat sedang berpikir, “Kurasa, bukan masalah” dia tersenyum lebar sambil mengangkat bahu.

       Segera kurangkul lehernya dengan kedua tanganku, dan aku mulai berbisik pelan ditelinganya “Segala yang aku tahu sejak kemarin adalah Segalanya Sudah Berubah” dia tersenyum dan mengangguk pelan lalu menciumku. Ditatapnya lurus-lurus kedua mata biruku dengan mata cokelatnya yang teduh “Ya, kau benar” dia tersenyum lemah “Segalanya memang sudah berubah” katanya dengan lembut.

“Cause all I know is we said Hello. And Your eyes look like coming home

All I know it’s simple name, Everything Has Changed

All I know is we held the door. You’ll be mine and I’ll be yours

All I know since yesterday is Everything Has Changed”