Aku menatapnya dalam diam ketika dia masuk ke dalam kamar tanpa suara.
Pundaknya bergetar, mengisyaratkan bahwa dia sedang kedinginan karena tubuhnya
basah oleh hujan bulan November yang baru saja datang dengan riangnya. Terlihat
jelas wajahnya sedikit pucat ketika dia melewatiku tadi. Dan menyedihkannya,
tak ada yang bisa aku lakukan untuknya. Untuk seseorang yang bisa dibilang
sudah berkorban banyak untuk hidupku. Ya, dia adalah Kakakku. Kak Iskan.
Satu-satunya keluarga yang aku tahu dan yang aku miliki sekarang ini. Juga
satu-satunya orang yang akan menjadi panutanku ketika aku harus mengambil
tindakan besar suatu hari nanti. Dia begitu membuatku bangga. Dengan segala hal
yang telah dia lakukan dan segala prestasi yang telah dia torehkan.
Kuhembuskan nafas berat, sudah sekitar sepuluh menit lamanya dia berada
di dalam kamar, tanpa memberikan penjelasan apapun tentang keadaannya kepadaku.
Hal ini membuat rasa cemasku sudah melampaui batasnya. Jadi, sudah kuputuskan
untuk menunggunya dan menanyakan bagaimana keadaannya ketika dia keluar nanti.
Hanya untuk kali ini saja, aku ingin berada dekat dengannya, ada ketika dia
sedang membutuhkanku. Karena sudah sangat lama kami tidak saling berkomunikasi.
Komunikasi diantara kami seakan terputus setelah kematian Ayah dan Ibu.
Walaupun kerap kali, aku selalu mencoba untuk membawanya mendekat kearahku dan
melihatku dengan jelas ketika matanya terbuka. Karena akan percuma jika dia
melihatku ketika matanya tertutup.
Aku masih berada di depan kamarnya, menunggunya tanpa bosan. Dan
sepertinya penantianku akan berakhir, bisa kudengar suara knop pintu sedang
diputar tak lama kemudian pintu kamarnya sudah perlahan terbuka. Dia sedang
tertunduk dan segera mendongakkan kepalanya ketika menyadari bahwa aku berada
di depannya. Dia tampak terkejud dengan keberadaanku. Aku pun segera menyingkir
dan membiarkan dia lewat. Karena bisa aku lihat di dalam matanya dia sedang
ingin berjalan ke kamar mandi, untuk menyegarkan tubuhnya. Namun, sebelum itu
ada beberapa hal yang aku perlu tanyakan kepadanya. Untuk memastikan keadaanya.
“Kakak baik-baik saja?” tanyaku kikuk.
Dia berhenti dan menoleh kearahku tanpa membalikkan badan “Ya. Tidak
perlu secemas itu” Katanya dengan datar, seperti biasa. Jadi, dia bisa tahu
bahwa aku mencemaskannya, ini benar-benar bagus.
“Tapi, wajah Kakak terlihat pucat. Kakak yakin baik-baik saja?” entah apa
yang sudah merasukiku, sehingga pertanyaan itu keluar begitu saja.
Kali ini dia membalikkan tubuhnya dan menatap ke arahku “Bukankah kamu
sudah mengenal Kakak dengan baik Sena? Hal seperti ini bukanlah masalah serius
buat Kakak” Katanya penuh keyakinan.
Aku tertunduk “Aku hanya tidak ingin Kakak kenapa-napa” Kataku jujur
“Kesehatan Kakak jauh lebih penting dan...” aku hanya ingin Kakak tahu bahwa
aku peduli dengan Kakak “bukankah Kakak harus menghadapi kejuaran minggu
depan?”
Dia tersenyum rendah “Terima kasih karena sudah mencemaskan Kakak. Tapi,
Kakak memang baik-baik saja” dia menepuk pundakku pelan “Perhatikan saja
kesehatanmu sendiri dan jaga diri dengan baik” Sambungnya sambil membalikkan
badan kembali berjalan menuju kamar mandi.
Seketika itu senyumku segera mengembang, kupandangi pundak kiriku yang
baru saja ditepuk olehnya. Aku merasa begitu tenang. Dan sudah kuputuskan bahwa
aku tidak berhenti untuk menyambung jarak yang sudah terbentang di antara kami
berdua. Mulai dari sekarang.
***
Aku baru saja bangun dari tidurku
ketika Pak Sam memberitahu bahwa akan ada latihan gabungan untuk para atlet
lompat tinggi siang ini di sekolah. Jadi, wajar saja jika aku tergesa-gesa
membereskan barang-barang yang harus aku bawa dan menjangkau apa saja yang ada
di depan mataku. Bahkan sekarang ini aku sedang memakai sepatu sambil memakan
roti selai yang menjadi sarapanku pagi ini.
“Mau latihan?” Kuhentikan kegiatanku
sejenak, menyadari siapa yang baru saja bertanya. Apakah aku tidak salah
dengar? Kakak sedang bertanya kepadaku?
Dengan segera kutolehkan kepalaku ke arah Kak Iskan yang sedang duduk di
ruang tamu. Ya, semenjak hari itu kami sudah lumayan sering berkomunikasi.
Namun, ini adalah kali pertama dia bertanya tentang latihanku secara langsung.
“Iya Kak. Pak Sam baru bilang kalo hari ini ada latihan gabungan di
sekolah. Maaf, aku nggak ngasih tahu Kakak. Soalnya aku kira Kakak masih tidur”
Kataku dengan wajah bersalah.
“Gak ada yang perlu dimaafin. Kamu gak harus beritahu Kakak kalo kamu mau
latihan” Katanya tanpa ekspresi “Oh ya, Kakak dengar rekor kamu sudah naik lima
senti dari minggu lalu. Benar begitu?”
Mataku melebar “Kakak tahu dari mana?” tanyaku spontan.
“Kita kan satu sekolah Sena. Kamu lupa?” Katanya seolah mengingatkanku
jika kami bersekolah di sekolah yang sama.
Aku mengaruk kepalaku yang tidak gatal dan kemudian tertawa “Iya ya Kak.
Kok aku bisa linglung kayak gini?” Kataku sedikit malu.
“Jadi, gimana dengan perkembangan lompat tinggi kamu Sena?” Dia terlihat
begitu antusias dan tidak pernah aku melihat wajahnya berbinar-binar seperti
ini. Mungkin ini adalah saatnya mendapatkan pengakuan dari Kak Iskan. Karena
dari dulu hanya satu hal yang kuinginkan darinya. Dia dapat mengakui
keberadaanku. Hanya itu, tidak lebih. Dan sepertinya untuk mendapatkan hal itu,
aku harus lebih bersabar. Dan aku rasa saat itu adalah sekarang.
“Perkembangannya lumayan banyak
Kak. Dan itu semua juga berkat bimbingan kakak, karena kakak juga yang ngenalin
aku dengan lompat tinggi sampai bisa jadi atlet seperti sekarang ini” Kataku
dengan bangganya.
Dia terdiam menatapku “Bagus kalo gitu” katanya singkat sambil bangkit
dari tempat duduknya.
“Kakak tahu?” Kataku mencoba
menahannya untuk tetap disini, aku masih ingin berbicara banyak dengannya.
Dengan Kakakku “Pak Sam cukup terkejud melihat rekorku yang naik secara
drastis” dia kembali duduk dan mengurungkan niatnya.
“Kata Pak Sam mungkin aku bakalan jadi andalan utama untuk Kejurnas
nanti” dia semakin terlihat tertarik dan tersenyum renyah “Dia juga bilang kalo
dengan rekor yang aku pegang sekarang, itu sudah cukup untuk memenangkan
pertandingan, aku hanya perlu mempertahankannya dan...”
“Cukup?” Kak Iskan segera memotong perkataanku dan menatapku dengan
tajam.
“Iya kak. Menurut Pak Sam itu
sudah lebih dari cukup karena rekor yang aku buat bagus”
Dia menghelakan nafasnya sejenak “Itu masih belum ada apa-apanya dan
terlalu jauh dari apa yang Kakak harapkan” Katanya dengan tegas “Jangan pernah
merasa cukup kalo kamu mau maju” Tungkasnya dan kemudian pergi bangkit dari
tempat duduknya. Menghilang masuk ke dalam kamar. Aku tidak dapat membaca ekspresi
apa yang sedang ditunjukkan Kakakku sekarang ini. Kecewa, marah, entahlah aku
tidak ingin memikirkannya. Dan sekarang aku baru tahu rasanya terangkat tinggi
lalu dihempaskan dengan keras ke tanah. Sangat menyesakkan.
***
Sudah empat hari aku
tidak berbicara dengan Kak Iskan. Kami sama-sama sibuk mempersiapkan diri untuk
Kejurnas tahun ini yang bertempat di sekolah kami sendiri. Dan seperti biasa
aku tidak pernah melewatkan satu pun perlombaan yang diikuti olehnya. Dia
adalah atlet serba bisa, dan untuk tahun ini dia mengikuti lomba atletik cabang
lari. Dari awal start do’aku segera terlantun untuknya. Dan sudah dapat aku
pastikan dia akan mendahului lawan-lawannya ketika berlari nanti. Karena sejauh
ini hanya dia atlet terbaik yang pernah dimiliki oleh sekolah kami.
Perlombaan sudah berjalan cukup lama dan sekarang adalah detik-detik para
pelari memasuki rute terakhir dan masuk ke gerbang garis finish. Tiba-tiba saja
semua penonton yang ada bertepuk tangan dengan lantang ketika ada seorang
pelari yang sudah menginjakkan kaki mendekati garis finish. Seperti biasa
perkiraanku kali ini tepat, Kak Iskan meninggalkan lawannya jauh dibelakang dan
menyentuh pita putih yang terbentang di garis finish tanpa basa-basi. Dia
berhenti, mengepalkan tangannya dan mendorongnya ke udara, lalu menyapu
pandangan ke bangku penonton. Aku tidak tahu siapa yang sedang dicarinya kali
ini. Dan ketika tatapannya jatuh ke arahku, aku segera melambaikan tangan dan
mengacungkan dua ibu jari tanganku ke arahnya sambil tersenyum lebar. Dia tidak
membalas tatapanku, bahkan dia segera memalingkan wajah tapi aku sangat yakin
dia tadi melihatku, dan itu sudah lebih dari cukup.
“Sena, kamu kok disini?” Tanya Raga heran “Perlombaan kamu lima belas
menit lagi kan dimulai”
“Iya ga, aku tahu kok” kataku enteng dan kembali melihat Kak Iskan yang
sedang digerumbungi oleh orang-orang yang memberikan selamat kepadanya. Rasanya
aku ingin bergabung dan memberikan selamat juga kepada Kak Iskan. Tapi, Raga
benar tinggal lima belas menit lagi perlombaanku dimulai dan aku harus
benar-benar menyiapkan diri.
“Nunggu apa lagi? Kok masih disini Sen?” desak Raga
“Iya iya, yaudah aku pergi ya” kataku kemudian dan berlari meninggalkan
Raga.
Aku pun segera berlari menuju aula sekolah, tempat perlombaanku berlangsung.
Namun, tiba-tiba saja aku melihat Kak Iskan sedang berjalan dengan Pak Sam ke
arah ruang ganti. Dari raut wajah Pak Sam ada hal serius yang ingin
dibicarakannya dengan Kak Iskan. Dan karena penasaran aku pun mengikuti mereka
secara diam-diam.
“Iskan. Bapak mohon untuk hari ini saja tolong tunjukkan dirimu ketika
kamu melihat adikmu bertanding. Jangan seperti biasa, kamu malah menyebunyikan
dirimu dan menjadikan dia menganggap bahwa kamu tidak menyaksikan
pertandingannya” Pak Sam memulai pembicarakan dan yang benar saja aku tidak
percaya dengan apa yang aku dengar.
Kak Iskan menunduk “Maaf Pak, tapi saya lebih nyaman seperti itu. Saya
hanya ingin membuatnya menjadi mandiri tanpa mengandalkan saya. Karena saya
tidak ingin dia menjadi seperti saya yang langsung jatuh ketika orang yang
biasanya diandalkan pergi untuk selamanya. Saya ingin dia kuat Pak, lebih kuat
dari saya” kata Kak Iskan dengan nada lemah. Aku sudah tahu tentang apa yang
dimaksud kakak. Ternyata sampai saat ini dia masih memikirkan tentang kematian
Ayah dan Ibu.
“Tapi dia juga butuh kamu sebagai Kakaknya. Kamu gak boleh egois seperti
ini”
“Saya tahu Pak. Tapi saya sudah merasa gagal sejak awal saya membimbing
dia. Saya gak tahu kenapa dia masih menjadikan saya sebagai panutan, padahal
saya sering sekali keras kepadanya dan melakukan sesuatu yang gak pantas
untuknya” tidak Kakak salah, Kakak
salah. Gumamku di dalam hati.
“Kamu salah. Justru kamu yang membimbing dia sampai sehebat sekarang. Dan
dia juga cuma punya harapan kecil. Dia mau kamu menganggap keberadaannya dan
bilang kalo kamu bangga sama dia” Pak Sam memegang pundak Kak Iskan dan apa
yang dikatakan Pak Sam memang benar.
“Hanya saja saatnya belum tepat Pak” Kak Iskan terlihat sedang memikirkan
sesuatu “Dan seharusnya dia tahu bahwa saya bangga sama dia tanpa harus
mengatakannya secara langsung. Bahkan sekarang saya merasa kemampuan dia sudah
melewati saya. Dia memang atlet yang hebat”
“Semua itu berkat kamu, motivasi untuk dia belajar”
“Gak Pak, dia melakukan itu dengan usahanya sendiri. Usaha terbaik yang
mampu dia lakukan. Saya benar-benar bangga punya adik seperti dia, punya adik
seperti Sena” Katanya dengan begitu tulus.
Kututup mulutku tak percaya, tanpa banyak gerakan aku segera berlari dan
memeluk Kak Iskan dari belakang. Kak Iskan tampak terkejud, begitu pula dengan
Pak Sam.
“Makasih Kak. Makasih banyak. Dari dulu Cuma itu yang mau aku dengar dari
Kakak. Aku mau Kakak bangga sama aku. Karena alasan aku ngelakuin semua ini
adalah Kakak. Kakak yang selama ini membuat aku bangga”
Dia melepaskan pelukanku dan memegang bahuku dengan kedua tangannya.
“Maafin Kakak, Kakak gak tahu gimana harus bersifat ke kamu. Kakak Cuma gak mau
kamu lemah. Kamu sudah sejak lama buat Kakak bangga dan Kamu adalah harta Kakak
yang paling berharga”
Aku tersenyum “Mulai sekarang, Kakak harus janji kita berdua bakalan
sama-sama ngadepin apapun dan saling dukung satu sama lain. Gak boleh ada jarak
lagi antara kita”
“Iya Kakak janji” Katanya tulus dan kembali memelukku.
“Kak. Ada beberapa hal yang harus dikatakan dulu baru bisa dimengerti”
“Iya, Kakak tahu itu” katanya sambil mengeratkan pelukannya.